Translate

Jumat, 26 April 2013

Hukum Perikatan


HUKUM PERIKATAN
Perikatan menurut A.PILTO perikatan adalah hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atasa dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
menurut Subekti : Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.
Hukum perikatan adalah hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara para pihak yang menimbulkan prestasi.
Istilah perikatan dalam buku ketiga KUHAPer mengatur tentang verbintenisen reacht yang di dalamnya tercakupm overeekomst menurut :
a.       Prof. Subekti dan R Tjitrosodibio mengistilahkan perikatan dalam verbentenis dalam buku KUHAper
b.      Utrect mengistilahkan perhutangan unruk menerjemahkan verbintenis dalam bukunya pengantar hukum Indonesia.
c.       Achmad Ichsan mengistilahkan perjanjian dengan verbintenis.
Hukum romawi (Corpus Luris Civilis)=OBLIGATIO
KUHAperdata Indonesia= perikatan/verbintenis
Hubungan perikatan dengan h.perdata
Hukum  perikatan merupakan bagian dari hukum perdata dalam buku tiga BW
Sifat hukum perikatan
1)    Sebagai hukum pelengkap
Jika para pihak membuat ketentuan sendiri, maka para pihak dapat mengesampingkan ketentuan dalam UU.
2)    Konsensuil
Dengan tercapainya kata sepakat di antara para pihak, maka perjanjian tersebut telah mengikat.
3)    Obligatoir
Sebuah perjanjian hanya menimbulkan kewajiban saja, tidak menimbulkan hak milik. Hak milik baru berpindah atau beralih setelah dilakukannya penyerahan atau levering.
Hukum perikatan bersifat terbuka karena mempunyai dua sumber yaitu berasal dari persetujuan dan dari undang-undang
Sumber Hukum Perikatan:
1)    Perikatan yang Bersumber dari Persetujuan/Perjanjian
Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi:“Persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
2)    Perikatan yang Bersumber dari Undang-undang
Dibagi dalam dua golongan, yaitu:
1.Perikatan yang terjadi karena undang-undang itu sendiri (lahir dari hubungan kekeluargaan).
Misalnya; suami istri berkewajiban mendidik atau memelihara anak-anak mereka, anak wajib memberikan nafkah kepada orang tua yang sudah tidak bekerja (UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), pemilik pekarangan yang berdampingan menurut Pasal 625 KUHPerdata berlaku beberapa hak dan kewajiban.
2.Perikatan yang terjadi karena perbuatan manusia(perstujuan), yakni:
  1. Perbuatan yang diperbolehkanZaakwarneming (Pasal 1354 KUHPerdata)
2.      Perbuatan yang melanggar hukum atau melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata)
Asas Konsensualisme (pasal 1320 BW) yang berisi tentang syarat sahnya suatu perjanjian :
1.      Sepakat(yaitu subjek terdiri dari pihak 1(kreditur) pihak 2(debitur)
2.      Cakap(yaitu subjek,dewasa menurut BW 21)
3.      Suatu hal tertentu(objek)
4.      Suatu/causa yang halal (objek)
Syarat Subjektif dapat di batalkan oleh institusi yang berwenang (HAKIM),syarat objektif akibat hukumnya adalah batal demi hukum.
Menurut KUHP/UU Perikatan ada 6 macam :
1.      Perikatan bersyarat (pasal 1253)Adalah perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari yang masih belum dan tidak tentu akan terjadi.
2.      Perikatan dengan ketetapan waktu / syarat waktu (pasal 1268)Pelaksanaannya digantungkan sampai pada suatu waktu yang ditangguhkan yang pasti akan tiba.
3.      Perikatan manasuka/Alternatif (pasal 1272)Debitur dibebaskan untuk memenuhi satu dari dua atau lebih prestasi (pilihan) yang disebutkan secara tegas dalam perikatan.
4.      Perikatan Tanggung Menanggung/ Renteng (pasal 1280)Kreditur/ debitur terdiri dari beberapa orang/ lebih dari satu.
5.      Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi (pasal 1296)
Berdasarkan objek.
6.      Perikatan dengan ancaman hukumanPerikatan yang ditentukan bahwa debitur kena sanksi hukuman apabila tidak menjalankan kewajibannya.

Macam perikatan menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata :
1.      Menurut isi dari prestasinya
Ø  Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Ø  Perikatan alternatif.
2.      Menurut subjeknya
Ø  Perikatan tanggung menanggung
Ø  Perikatan dengan ancaman hukuman.
3.      Menurut saat berlakunya dan berakhirnya suatu perikatan
Ø  Perikatan bersyarat
Ø  Perikatan dengan syarat/ketentuan waktu
Hapusnya Perikatan
Berdasarkan pasal 1381 KUH Perdata, ada 10 cara penghapusan suatu perikatan :
a)      Pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela;
b)      Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpangan atau penitipan;
c)      Pembaharuan utang;
d)      Perjumpaan utang atau kompensasi;
e)      Percampuran utang;
f)        Pembebasan utang
g)      Musnahnya barang yang terutang;
h)      Batal/pembatalan;
i)        Berlakunya suatu syarat batal;
j)        Lewat waktu;
1. Schuld tanpa Haftung
Hal ini dapat dijumpai dalam perikatan alam (natuurlijke verbentenis). Dalam perikatan alam sekalipun Debiror memiliki hutang (schuld) kepada Kreditor, namun jika Debitor tidak melaksanakan prestasinya, Kreditor tidak dapat menuntu pemenuhannya. Contohnya dapat ditemukan dalam hutang yang timbul karena perjudian. Sebaliknya  jika Debitor memenuhi prestasi, Debitor tidak dapat menuntut pengembalian apa yang telah dibayarkan.
2. Schuld dengan Haftung terbatas
Dalam hal ini Debitor tidak bertanggung jawab dengan seluruh harta kekayaannya, akan tetapi terbatas sampai dengan jumlah tertentu atau atas barang tertentu. Contoh: ahli waris yang menerima warisan dengan hak pendaftaran berkewajiban untuk membayar schuld daripada pewaris samapai schuld jumlah harta kekayaan pewaris yang diterima oleh ahli waris tersebut.
3. Haftung dengan Schuld pada pihak lain
Jika pihak III menyerahkan barangnya untuk dipergunakan sebagai jaminan oleh Debitor kepada Kreditor maka walupun dalam hal ini pihak III tidak memiliki hutang kepada Kreditor akan tetapi pihak III tersebut bertanggung jawab atas hutang Debitor dengan barang yang dipakai sebagia jaminan. Hal ini dapat dikatakan sebagi bourtogh (pertanggungan). Contoh: A mengadakan perjanjian hutang piutang dengan B akan tetapi C bersedia menjaminkan barang yang dimilikinya untuk pelunasan hutang yang dimiliki oleh A terhadap B walaupun C tidak memiliki hutang terhadap B
PERJANJIAN
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lainnya atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Perikatan merupakan suatu yang sifatnya abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu yang bersifat kongkrit. Dikatakan demikian karena kita tidak dapat melihat dengan pancaindra suatu perikatan sedangkan perjanjian dapat dilihat atau dibaca suatu bentuk perjanjian ataupun didengar perkataan perkataannya yang berupa janji.
Asas Perjanjian
Ada 7 jenis asas hukum perjanjian yang merupakan asas-asas umum yang harus diperhatikan oleh setiap pihak yang terlibat didalamnya.
a. Asas sistem terbukan hukum perjanjian
Hukum perjanjian yang diatur didalam buku III KUHP merupakan hukum yang bersifat terbuka. Artinya ketentuan-ketentuan hukum perjanjian yang termuat didalam buku III KUHP hanya merupakan hukum pelengkap yang bersifat melengkapi.
b. Asas Konsensualitas
Asas ini memberikan isyarat bahwa pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat lahir sejak adanya konsensus atau kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian.
c. Asas Personalitas
Asas ini bisa diterjemahkan sebagai asas kepribadian yang berarti bahwa pada umumnya setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut untuk kepentingannya sendiri atau dengan kata lain tidak seorangpun dapat membuat perjanjian untuk kepentingan pihak lain.
d. Asas Itikad baik
Pada dasarnya semua perjanjian yang dibuat haruslah dengan itikad baik. Perjanjian itikad baik mempunyai 2 arti yaitu :
1)      Perjanjian yang dibuat harus memperhatikan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
2)      Perjanjian yang dibuat harus didasari oleh suasana batin yang memiliki itikad baik.
e. Asas Pacta Sunt Servada
Asas ini tercantum didalam Pasal 1338 ayat 1 KUHP yang isinya “Semua Perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas ini sangat erat kaitannya dengan asas sistem terbukanya hukum perjanjian, karena memiliki arti bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak asal memnuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur di dalam pasal 1320 KUHP sekalipun menyimpang dari ketentuan-ketentuan Hukum Perjanjian dalam buku III KUHP tetap mengikat sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuat perjanjian.
f. Asas force majeur
Asas ini memberikan kebebasan bagi debitur dari segala kewajibannya untuk membayar ganti rugi akibat tidak terlaksananya perjanjian karena suatu sebab yang memaksa.
g. Asas Exeptio non Adiempletie contractus
Asas ini merupakan suatu pembelaan bagi debitur untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian, dengan alasan bahwa krediturpun telah melakukan suatu kelalaian.
Macam-macam perjanjian obligator ialah sebagai berikut:
a. Perjanjian dengan cumua-Cuma dan perjanjian dengan beban.
- Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
- Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
b. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.
- Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
- Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
c. Perjanjian konsensuil, formal dan riil.
- Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
- Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk tertentu, yaitu dengan cara tertulis.
- Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
d. Perjanjian bernama, tidak bernama, dan campuran.
- Perjanjian bernama ialah suatu perjanjian dimana UU telah mengaturnya dengan ketentuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHerdata ditambah titel VIIA.
- Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
- Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit di kualifikasikan.

Syarat Sahnya Perjanjian
a. Syarat Subjektif
   - Keadaan kesepakatan para pihak
   - Adanya kecakapan bagi para pihak
b. Syarat Objektif
   - Adanya objek yang jelas
   - Adanya sebab yang dihalalkan oleh hukum 
Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1.Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3.Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi) Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a.  Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah  dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang di akibat oleh kelalaian si debitor;
c.  Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga macam novasi yaitu :
1) Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.
Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata
Pembebasan utang
Undang-undang tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksaOvermacht / at au force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Syarat yang membatalkan
Yang dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya syarat itu.
Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macamlampau waktu, yaitu :
1.      (1). Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut
”acquisitive prescription”;
2.       Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan
Dari tuntutan, disebut ”extinctive prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.

 Perbuatan Melawan Hukum dalam bidang  hukum perdata di Indonesia diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (burgelijk wetbook) yang isi lengkapnya adalah
“Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”
Secara pokok unsur-unsur dalam Perbuatan Melawan Hukum tersebut adalah :
1.      Harus ada perbuatan;
2.      Perbuatan itu harus melawan hukum;
3.      Ada kerugian;
4.      Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dan ganti kerugian;
5.      Ada kesalahan;
Dari unsur-unsur pokok perbuatan melawan hukum tersebut diatas jika dicermati lebih mendalam tentunya masihmultitafsir karena belum adanya batasan penjelas dari masing-masing unsur. Dalam kehidupan nyata atau prakteknya seringkali terjadi pemahaman yang kurang padu dengan apa yang dimaksud dalam masing-masing unsur. Berikut ini beberapa penjelasan lebih lanjut dari masing-masing unsur tersebut.
1. Harus Ada Perbuatan
Perbuatan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia secara singkat merupakan sesuatu yang diperbuat (dilakukan) atau suatu tindakan atau suatu kelakuan atau suatu tingkah laku. Perbuatan ini bisa positif atau negatif. Perbuatan positif seringkali dimaknai sebagai tindakan atau tingkah laku yang bermanfaat baik buat diri sendiri dan atau orang lain. Sedangkan di sisi lain, perbuatan negatif adalah sebaliknya. Perbuatan negatif seringkali dipandang mayoritas masyarakat sebagai tindakan yang hanya merugikan diri sendiri maupun orang lain.
2. Perbuatan itu harus melawan hukum
Unsur ini bisa dikatakan sebagai jantung dari unsur-unsur perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan tersebut pada mulanya hanyalah dipahami sebagai perbuatan yang melanggar Undang-Undang dan hak orang lain. Akan tetapi lama kelamaan hal itu bisa melawan hukum tertulis yang mana dalam hal ini adalah Undang-Undang namun bisa juga melawan hukum yang tidak tertulis di masyarakat tempat terjadinya perbuatan melawan hukum tersebut yaitu kepatutan dan ketertiban.
3. Ada Kerugian
Kerugian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar rugi yang memiliki makna sebagai tidak mendapat faedah atau tidak memperoleh sesuatu yang berguna dari awalnya mendapatkan hal yang berguna atau sesuatu yang mudarat (kurang baik). Kategori lebih lanjut tentang kerugian ini ada dua kerugian yaitu kerugian tentang benda dan kerugian tentang nyawa. Kerugian tentang benda misalnya adalah rusaknya mobil karena digores dengan pisau. Kerugian tentang nyawa dimaksudkan juga sebagai luka tubuh ataupun hilangnya nyawa seseorang.
4. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dan ganti kerugian
Antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang masing-masing berdiri sendiri dengan maknanya yang berbeda, hal ini lain jika perbuatan melawan hukum dikaitkan dengan ganti kerugian yang memiliki kausalitas satu sama lain. Pemahaman dari aspek ini adalah bahwa sebab perbuatan melawan hukum seseorang yang menimbulkan kerugian memang berakibat adanya keadaan yang harus diganti oleh pembuat kerugian tersebut.
5. Ada kesalahan
Secara logika nalar berpikir kita, kesalahan adalah keadaan menyimpang dari yang seharusnya. Kesalahan dibagi menjadi kesalahan yang secara sengaja dilakukan dan kesalahan yang karena lalai. Kesalahan yang secara sengaja dilakukan bisa dipahami sebagai keadaan menyimpang dari yang seharusnya dilakukan dengan melawan suatu hal yang sudah diketahui hal itu dilarang. Misalnya mendirikan bangunan diatas tanah yang bukan miliknya secara tegas tidak diperbolehkan, namun orang yang membangun bangunan tersebut tetap membangun diatas tanah yang bukan miliknya. Selain kesalahan yang dilakukan secara sengaja, ada juga karena kesalahan tersebut dilakukan karena lalai. Pengertian dari lalai ini bertolak belakang dengan sengaja, lalai merupakan keadaan seseorang tidak tahu hal yang dilakukannya salah tapi mayoritas orang menyepakati hal itu salah. Lalai juga bisa juga dimaknai sebagai kekurang hati-hatian seseorang terhadap suatu keadaan.
Perbuatan melawan hukum yang sering juga disebut dengan Onrechtmatige daad telah berkembang sedemikian rupa karena berkat Putusan Hoge Raad di negeri belanda memberikan pengertian baru tentang onrechtmatige daad pada tanggal 31 Januari 1919. Inti dari putusan tersebut adalah tentang Seorang yang membujuk seorang buruh dari suatu perusahaan saingannya untuk memberikan keterangan-keterangan perihal cara-cara kerja yang bersifat rahasia dalam perusahaan tersebut. Hal itu dapat dianggap telah melakukan onrechtmatige f daad. Jika perbuatan demikian itu, karena kesalahan si pembuat telah menimbulkan kerugian, si pembuat ini akan dihukum mengganti kerugian. Putusan Hoge Raad ini begitu pentingnya hingga sering dipersamakan dengan suatu revolusi dalam dunia kehakiman. Banyak sekali perbuatan yang dulu tidak dapat digugat di depan hakim, sekarang oleh hakim diartikan sebagai onrechtmatigjika dapat dibuktikan bahwa dari kesalahan si pembuat itu telah timbul kerugian pada seorang lain, maka si pembuat itu akan dihukum untuk mengganti kerugian itu




Tidak ada komentar:

Posting Komentar