Translate

Rabu, 27 November 2013

ILMU PERUNDANG - UNDANGAN

ILMU PERUNDANG – UNDANGAN
  MENURUT BURKHARDT KREMS, ILMU PENGETAHUAN PERUNDANG-UNDANGAN (GESETZGEBUNGSWISSENSCHAFT) ADALAH ILMU PENGETAHUAN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN NEGARA, YG MERUPAKAN ILMU YG BERSIFAT INTERDISIPLINER (INTERDISZIPLINARE WISSENSCHAFT VON DER STAATLICHEN RECHTSSETZUNG)
  ILMU PENGETAHUAN PER-UU-AN MERUPAKAN ILMU YG BERHUBUNGAN DG ILMU POLITIK DAN SOSIOLOGI, SECARA GARIS BESAR DAPAT DIBAGI MENJADI DUA BAGIAN BESAR, YAITU:
1.    TEORI PERUNDANG-UNDANGAN (GESETZGEBUNGSTHEORIE), YG BERORIENTASI PADA MENCARI KEJELASAN DAN KEJERNIHAN  MAKNA ATAU PENGERTIAN-PENGERTIAN DAN BERSIFAT KOGNITIF
2.    ILMU PERUNDANG-UNDANGAN (GESETZGEBUNGSLEHRE), YG BERORIENTASI PADA MELAKUKAN PERBUATAN DALAM HAL PEMBENTUKAN PER-UU-AN DAN BERSIFAT NORMATIF
BAGIR MANAN & KUNTANA MAGNAR :
PERAT.PERUU ADLH SETIAP PUTUSAN YG DIBUAT, DITETAPKAN/DIKELUARKAN OLEH LEMBAGA/PEJA- BAT NEG. YG MEMPUNYAI (MENJLNKAN) FUNGSI LEGISLATIF SESUAI DG TATA CARA YG BERLAKU
PENGERTIAN BERDASARKAN UU NO. 12 TAHUN 2011:
  PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ADALAH PERATURAN TERTULIS YANG MEMUAT NORMA HUKUM YANG MENGIKAT SECARA UMUM DAN DIBENTUK ATAU DITETAPKAN OLEH LEMBAGA NEGARA ATAU PEJABAT YANG BERWENANG MELALUI PROSEDUR YANG DITETAPKAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
  PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ADALAH PROSES PEMBUATAN PER-UU-AN YANG  MENCAKUP TAHAPAN PERENCANAAN,  PENYUSUNAN, PEMBAHASAN, PENGESAHAN ATAU PENETAPAN, DAN PENGUNDANGAN.
Pengertian Norma
            Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahasa latin, atau kaidah dalam bahasa arab.
            Soerjono Soekanto dan Punardi Purbacaraka mengemukakan bahwa, kaedah adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman untuk berperilaku atau bersikap tindak dalam hidup.
Hans kelsen menurut fungsinya :
·  Memerintah (gebietien)
·  Melarang (verbietein)
·  Mengusahakan (ermachtigen)
·  Membolehkan (erlauben)
·  Menyimpangkan dari ketentuan.
 Hans Kelsen mengembangkan teori Hirearki Norma Hukum (stufentheorie Kelsen) bahwa norma-norma hukumj itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirearki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipothesis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).
Hans Nawinsky mengembangkan teori tersebut dan membuat Tata Susunan Norma Hukum Negara (die Stufenordnung der Rechtsnormen) dalam empat tingkatan:
                         I.     Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) atau Grundnorm (menurut teori Kelsen)
                       II.     Staatsgrundgezets (Aturan Dasar/Pokok Negara)
                     III.     Formell Gezets (UU Formal)
                    IV.     Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan Aturan Otonomi).
1.Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
·         Tidak dibentuk oleh suatu norma hukumyang lebih tinggi ,tetapi pre-supposed.
·         Norma hukum yang menjadi tempat norma norma  di bawahnya
·         Merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi suatu Negara
·         Syarat bagi berlakunya UUD
2.Staatsgrundgezets (Aturan Dasar/Pokok Negara)
·         Biasanya mengatur hal hal pembagian kekuasaan negra di puncak pemerintahaan,hubungan antar lembaga Negara.
3. Formell Gezets (UU Formal)
·         Dibentuk untuk merumusakan aturan aturan hukum negra
·         Dicantumkannya sanksi baik pidana maupun pemaksa
·         Dibentuk lembaga legislatif / UU
4.Aturan pelaksana / aturan otonom
·         Menyelenggarakan ketentuan yang tercantum dalam UU
·         Aturan pelaksana bersumber dari delegasi wewenang
·         Aturan otonom berdasarkan atribusi wewenang

Asas peraturan perundang – undangan

  1.           Lex superior derogate legi inferiori : suatu ketentuan perundang undangan tidak boleh bertentangan dengan uu yang lebih tinggi.
  2.            Lex posterior derogate legi priori : ketentuan perundang undangan yang ditetapakan kemudian mengalahkan ketentuan yang lebih dahulu
  3.          Lex specialis derogate legi generalli : ketentuan yang khusus mngesampingkan ketentuan yang umum
  4.            Non- rektroaktif :uu tidak boleh berlaku surut.
Organ Pembentuk Peraturan Perundang – undangan Indonesia

  1.            MPR
  2.        Presiden
  3.           DPR
  4.        DPD
  5.         Kementrian Negara
  6.        Kepala Daerah (prov,kota,kab)
  7.             DPRD
  8.        Lembaga Pemerintah non kementrian MA,MK, BPK ,dll
Evolusi Hierarki Peraturan Per-uu-an RI
1. Yang diatur dalam UUD 1945
      a.   Undang-undang
      b.   Peraturan pemerintah pengganti UU (perpu)
      c.   Peraturan pemerintah
      d.   Perda dll
2.   Tap MPRS No. XX/MPRS/1966
            a.   UUD 1945
      b.   Tap MPR
      c.   UU/PERPU
      d.   Peraturan Pemerintah
      e.   keputusan presiden :
·         Peraturan mentri
·         Instruksi mentri

3.   Tap MPR No. III/MPR/2000
      a.   Undang-Undang Dasar 1945
      b.   ketetapan MPR RI
      c.   Undang-undang.
      d.   peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu)
      e.   peraturan pemerintah
      f     keputusan presiden
      g.   Perda
4.   UU No 10 Tahun 2004
      a.   UUD Negara RI
      b.   UU/Peraturan pemerintah pengganti UU/PERPU
      c.   peraturan pemerintahan
      d.   peraturan presiden
      e.   peraturan daerah :
·         Prov
·         Kab/kota
·         Desa
Sistem Hukum Nasional Indonesia (MOH. MAHFUD MD)
Adalah sisitem hukum yang berlaku di seluruh Indonesia yang meliputi semua unsusr unsur hukum (isi, struktur,budaya, sarana dan semua sub unsurnya) dan saling berkaitan satu sama lainnya dan sumbernya adalah pembukaan dan pasal pasal UUD RI 1945
UUD adalah Konstitusi
Konstitusi dalam arti luas adalah terdiri atas UUD sebgai konstitusi tertulis bserta nilai nilai dan norma hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebgai konvensi ketatanegraan dalam praktek penyelenggaaran Negara seharai hari (JIMLY ASSHIDDIQIE).
Apabila UUD dihubungkan dangan pengrtian konstitusi maka UUD itu adalah konstitusi yang tertulis, dan dalam arti ini konstitusi bisa disebut bersifat Yuridis.
Syarat UUD :

  •         Syarat bentuknya : Naskahnya tertulis dalam suatu Negara
  •         Syarat isinya         : bersifat mendasar
Periode Perubahan UUD :
1)      Periode 1 (1945-1949) : naskah asli UUD tanpa penjelasan resmi ,penjelasan  tentang UUD 1945 ( uud tdk secara kseluruhan) Bkn sebagai Penjelasan UUD 1945 (UUD 1945 keseluruhannya)
2)      Periode 2 (1949 – 1950 ) :UUD RIS
3)      Periode 3 ( 1950 – 1959 ) : UUD S 1950
4)      Periode 4 ( 1959 – 1999 ) : UUD 1945 di tambah penjelasan
5)      Periode 5 ( 1999 – 2000 ) : UUD 1945 di tambah perub 1 1h 1999
6)      Periode 6 (2000 – 2001 ) :UUD 1945 di tambah  prub 1 /1999 dan prub 2/2000
7)      Periode 7 (2001 – 2002 ) :UUD 1945 + prub 1 + prub 2 + prub 3
8)      Periode 8 ( 2002 – sampai saat ini.
Asas – asas Peraturan Peruu
Atamimi, dalam disertasinya mengemukakan, bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut meliputi :
  a. Asas-asas formal dengan perincian:
(1) asas tujuan yang jelas;
(2) asas perlunya pengaturan;
(3) asas organ/lembaga yang tepat;
(4) asas materi muatan yang tepat;
(5) asas dapatnya dilaksanakan; dan
(6) asas dapatnya dikenali.
     b. Asas-asas material, dengan perincian:
(1) asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma Fundamental Negara;
(2) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;
(3) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Berdasar atas Hukum; dan
(4) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitus
 Menurut  I. C. Van Der Vlies dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ada beberapa asas formal dan material yang harus perhatikan antara lain sebagai berikut:
     1. Asas Formal
a.      asas tujuan yang jelas.
b.      asas lembaga yang tepat.
c.       asas perlunya pengaturan.
d.      asas dapat dilaksanakan.
e.      asas konsensus.
  2. Asas Material
a)   asas terminologi dan sistematika yang benar.
b)   asas dapat dikenali
c)    asas perlakuan yang sama di depan hukum.
d)   asas kepastian hukum.
e)   asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individu.
  Landasan Peraturan Perundang-Undangan
       Peraturan perundang-undangan sekurang-kurangnya memuat:
A.  Landasan Filosofis
 Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan folosofis ( filisofische grondslag ) apabila rumusannya atau normanya mendapatkan pembenaran dikaji secara filosofis. Jadi mendapatkan alasan sesuai dengan cita-cita dan pandangan hidup manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan sesuai dengan cita-cita kebenaran, keadilan, jalan kehidupan ( way of life ), filsafat hidup bangsa, serta kesusilaan.
B. Landasan Sosiologis
 Suatu perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis ( sociologische groundslag ) apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum, kesadaran hukum masyarakat., tata nilai, dan hukum yang hidup di masyarakat agar peraturan yang dibuat dapat dijalankan.
C  Landasan Yudiris
 Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan yuridis ( rechtsground ) apabila mempunyai dasar hukum, legalitas atau landasan yang terdapat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Disamping itu landasan yuridis mempertanyakan apakah peraturan yang dibuat sudah dilakukan oleh atas dasar kewenganannya.
  ASAS MATERI MUATAN PER-UU-AN
       1.PENGAYOMAN   : HARUS BERFUNGSI MEMBERIKAN PERLINDUNGAN UTK MENCIPTAKAN KETENTRAMAN MASY.
       2.KEMANUSIAAN : HARUS MENCERMINKAN PERLINDUNGAN DAN PENGHORMATAN HAM SERTA HARKAT DAN MARTABAT SETIAP WN/PENDUDUK INDONESIA SECARA PROPORSIONAL.
       3.KEBANGSAAN   : HARUS MENCERMINKAN SIFAT DAN WATAK BANGSA INDONESIA YG PLURALISTIK DG TETAP MENJAGA PRINSIP NKRI.
       4.KEKELUARGAAN   : HARUS MENCERMINKAN MUSYAWARAH UTK MENCAPAI MUFAKAT DLM SETIAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN
       5.KENUSANTARAAN : SISTEM HK NASIONAL YG BERDSRKAN PANCASILA. MEMPERHATIKAN KEPENTINGAN SELURUH WILAYAH INDONESIA DAN MATERI MUATAN PERAT PER-UU-AN YG DIBUAT DI DAERAH  MERPKAN BAGIAN DR SISTEM HK NASIONAL YG BERDSRKAN PANCASILA.
       6.BHINNEKA TUNGGAL IKA : HRS MEMPERHATIKAN KERAGAMAN PENDUDUK, AGAMA, SUKU/GOLONGAN, KONDISI KHUSUS DAERAH DAN BUDAYA KHUSUSNYA YG MENYANGKUT MASALAH-MASALAH SENSITIF DLM KEHIDUPAN BERMASY, BERBANGSA DAN BERNEGARA.
       7.KEADILAN     :  HARUS TERCERMIN SECARA PROPORSIONAL BAGI SETIAP WARGA NEGARA TANPA KECUALI.
       8. KESAMAAN KEDUDUKAN DLM HK DAN PEMERINTAHAN  : TDK BOLEH BERISI HAL-HAL YG BERSIFAT MEMBEDAKAN BERDASARKAN LATAR BELAKANG AGAMA, SUKU, RAS, GOLONGAN, GENDER ATAU STATUS SOSIAL.
       9.KETERTIBAN DAN KEPASTIAN HUKUM :  HARUS DAPAT MENIMBULKN KETERTIBAN DLM MASYARAKAT MELALUI JAMINAN ADANYA KEPASTIAN HUKUM.
       10.KESEIMBANGAN, KESERASIAN/ KESELARASAN : HARUS TERCERMIN ANTARA KEPENTINGAN INDIVIDU/MASY DG KEPENTINGAN BGS/NEGARA.
*PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG            
(PERPU)

PENGERTIAN: BERDASARKAN PASAL. 1 ANGKA . 4 UU
NO. 12 TAHUN 2011   PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG       ADALAH  PERATURAN 
PERUNDANG-UNDANGAN YANG      DITETAPKAN OLEH
PRESIDEN DALAM HAL IHWAL          KEGENTINGAN YANG
MEMAKSA.
PASAL. 22 UUD 1945, MENYATAKAN :
(1) DALAM HAL IHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA  PRESIDEN BERHAK MENETAPKAN PERATURAN PEMERINTAH SEBAGAI PENGGANTI UNDANG-UNDANG    
(2) PERATURAN PEMERINTAH ITU HARUS MENDAPAT  PERSETUJUAN  DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM  PERSIDANGAN YANG BERIKUT;
(3)   JIKA TIDAK MENDAPAT PERSETUJUAN MAKA PERATURAN   PEMERINTAH ITU HARUS DICABUT                         
ISTILAH HAL IHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA  ADALAH KEADAAN YANG DITAFSIRKAN SECARA SUBJEKTIF DARI SUDUT PANDANG PRESIDEN/PEMERINTAH, DISATU PIHAK KARENA :

1.  PEMERINTAH SANGAT MEMBUTUHKAN  SUATU UNDANG-
         UNDANG UNTUK TEMPAT  MENUANGKAN  SESUATU
         KEBIJAKAN  YANG SANGAT PENTING DAN MENDESAK BAGI
         NEGARA , TETAPI DI LAIN PIHAK :
2.  WAKTU  ATAU  KESEMPATAN  YANG  TERSEDIA  UNTUK 
         MENDAPATKAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN
         RAKYAT TIDAK MENCUKUPI SEBAGAIMANA MESTINYA. 
DARI SEGI SUBSTANSINYA  ---------  PERPU ADALAH UNDANG-UNDANG DALAM    ARTI MATERIIL (WET  IN  MATERIELE ZIN)  SEBAB SUBSTANSI  NORMA YANG TERKANDUNG  DI DALAMNYA  ADALAH  MATERI  UNDANG-UNDANG BUKAN  MATERI PERATURAN  PEMERINTAH. MATERI  NORMATIF TERSEBUT DITUANGKAN DALAM BENTUK PERATURAN PEMER INTAH  HANYA BERSIFAT  SEMENTARA  WAKTU  SAJA  SEHINGGA  HARUS  MENDAPAT  PERSETUJUAN  DPR  DALAM  PERSIDANGAN  YANG BERIKUT, JIKA  TIDAK MENDAPAT PERSETUJUAN DPR MAKA PERATURAN PEMERINTAH  ITU  HARUS  DICABUT  OLEH  PRESIDEN.  JADI  SUBSTANSINYA  ADALAH UNDANG-UNDANG, TETAPI  BENTUK  FORMALNYA  ADALAH PP.
YANG DIMAKSUD DENGAN PERSIDANGAN YANG BERIKUT, MENURUT PENJELASAN PASAL. 52 AYAT (1) UU NO. 12 TAHUN 2011 ADALAH MASA SIDANG PERTAMA  DPR  SETELAH  PERATURAN PEMERINTAN PENGGANTI UNDANG-UNDANG DITETAPKAN.
MATERI MUATAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG SAMA DENGAN MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG. (PASAL. 11 UU NO. 12 TAHUN  2011.

4.  PERATURAN PEMERINTAH (PP)
     MENURUT PASAL. 1 ANGKA  5  UU NO. 12 TAHUN 2011,
     PERATURAN PEMERINTAH ADALAH  PERATURAN
     PERUNDANG-UNDANGAN YANG DITETAPKAN OLEH 
     PRESIDEN UNTUK  MENJALANKAN UNDANG-UNDANG
     SEBAGAIMANA MESTINYA.
    
MATERI MUATAN  PERATURAN PEMERINTAH BERDASARKAN PASAL. 12  UU NO. 12  TAHUN  2011 ADALAH BERISI  TENTANG  MATERI  UNTUK  MENJALANKAN UNDANG-UNDANG  SEBAGAIMANA  MESTINYA.
DALAM PENJELASAN PASAL TERSEBUT DINYATAKAN BAHWA YANG DIMAKSUD DENGAN  MENJALANKAN  UNDANG-UNDANG  SEBAGAIMANA  MESTINYA  ADALAH PENETAPAN PERATURAN  PEMERINTAH  UNTUK  MELAKSANAKAN  PERINTAH UNDANG-UNDANG  ATAU  UNTUK  MENJALANKAN UNDANG-UNDANG SEPANJANG  DIPERLUKAN DENGAN TIDAK MENYIMPANG DARI MATERI YANG DIATUR  DALAM  UNDANG-UNDANG  YANG BERSANGKUTAN.                   
PERATURAN PEMERINTAH  DIADAKAN  UNTUK  MELAKSANAKAN  UNDANG-UNDANG  OLEH KARENANYA  TIDAK MUNGKIN  BAGI PRESIDEN  UNTUK  MENETAPKAN  PERATURAN PEMERINTAH  SEBELUM ADA  UNDANG-UNDANGNYA . JADI  UU  SELALU  MENDAHULUI  PP  ATAU  PP  HANYA  DAPAT  DIBENTUK  ATAS  DASAR  PERINTAH  UNDANG-UNDANG.
PERATURAN PEMERINTAH  MERUPAKAN  BENTUK  DELEGATED  LEGISLATION  ATAU  KEWENANGAN  YANG  DIDELEGASIKAN  OLEH  PRINCIPAL  LEGISLATOR  ATAU  PEMBENTUK  UNDANG-UNDANG  KEPADA  PRESIDEN SELAKU  KEPALA  PEMERINTAHAN  YANG  AKAN  MENJALANKAN (EKSEKUTIF)  UNDANG-UNDANG YANG BERSANGKUTAN.
5.      PERATURAN PRESIDEN (PERPRES)
BERDASARKAN PASAL. 1 ANGKA  6  UU NO. 12 TAHUN 2011, PERATURAN PRESIDEN ADALAH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG DITETAPKAN OLEH PRESIDEN UNTUK MENJALANKAN PERINTAH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI ATAU DALAM MENYELENGGARAKAN KEKUASAAN PEMERINTAHAN.

SELAIN PERPRES, DIKENAL JUGA  KEPUTUSAN  PRESIDEN (KEPRES),  SEBELUM DITETAPKANNYA UU NO. 10 TAHUN 2004, MAUPUN UU NO. 12 TAHUN 2011,  HANYA DIKENAL KEPUTUSAN PRESIDEN (KEPRES)  SEBAGAI  BENTUK  PERATURAN  PERUNDANG-UNDANGAN YANG DITETAPKAN OLEH  PRESIDEN   BAIK YANG BERSIFAT MENGATUR (REGELING)  MAUPUN YANG BERSIFAT PENETAPAN ADMINISTRATIF (BESCHIKKING) .  PADAHAL SESUNGGUHNYA DARI KEDUA BENTUK  REGELING DAN BESCHIKKING, MEMPUNYAI KONSEKUENSI HUKUM  YANG BERBEDA, OLEH KARENANYA  PROF.DR.JIMLY  ASSHIDDIQIE, MEMBERIKAN SARAN AGAR DIBEDAKAN ANTARA  REGELING  DENGAN  BESCHIKKING , DENGAN   ALASAN  :
PERTAMA :  BAHWA PENGGUNAAN NOMENKLATUR UNTUK BENTUK            HUKUM YANG BERISI NORMA YANG  MENGATUR    HARUSLAH PERATURAN  BUKAN  KEPUTUSAN   SEDANGKAN UNTUK BENTUK HUKUM YANG BERSIFAT 
                       PENETAPAN  TIDAK BOLEH  DISEBUT  PERATURAN
                       KARENA  SIFATNYA TIDAK MENGATUR.

KEDUA :       UPAYA  HUKUM  UNTUK  MELAWAN  PRODUK                            PERATURAN DISEBUT SEBAGAI PENGUJIAN 
           PERATURAN  (JUDICIAL  REVIEU)  SEDANGKAN  UPAYA  HUKUM  UNTUK MELAWAN  KEPUTUSAN  ADMINISTRASI  NEGARA  (BESCHIKKING)  ADALAH  MELALUI GUGATAN   KE  PENGADILAN  TATA  USAHA  NEGARA. 
MATERI MUATAN PERATURAN PRESIDEN BERISI MATERI YANG DIPERINTAHKAN OLEH UNDANG-UNDANG, MATERI UNTUK MELAKSANAKAN PERATURAN PEMERINTAH, ATAU MATERI UNTUK MELAKSANAKAN PENYELENGGARAAN KEKUASAAN  PEMERINTAHAN. (PASAL, 13  UU  NO. 12  TAHUN  2011).
PADA PENJELASAN PASAL TERSEBUT DINYATAKAN BAHWA PERATURAN PRESIDEN DIBENTUK UNTUK  MENYELENGGARAKAN  PENGATURAN LEBIH LANJUT  PERINTAH UNDANG-UNDANG  ATAU PERATURAN PEMERINTAH SECARA TEGAS MAUPUN TIDAK TEGAS DIPERINTAHKAN PEMBENTUKANNYA.
PERPRES DAPAT DIBENTUK ATAS DASAR PERINTAH SECARA TEGAS DARI UU MAUPUN PP, DAN SECARA TIDAK TEGAS DIPERINTAHKAN  PEMBENTUKANNYA, ARTINYA , DENGAN DEMIKIAN ADA  2 (DUA)  PERPRES, YAITU PERPRES YANG BERSUMBER DARI DELEGASI  PENGATURAN DARI  UU  MAUPUN  PP,  DAN PERPRES BERSUMBER DARI  ATRIBUSI   KEWENANGAN, ARTINYA  PERATURAN YANG DIBENTUK OLEH PRESIDEN DALAM MENYELENGGARAKAN  PEMERINTAHAN  NEGARA.

PADA PERPRES YANG DIBENTUK BERDASARKAN ATRIBUSI    KEWENANGAN , MAKA PRESIDEN MEMILIKI RUANG GERAK KEWENANGAN DISKRESI ( DISCRETIONARY  POWER)  BERDASARKAN PRINSIP  FREIES  ERMESSEN   ATAU  BELIEDSVRIJHEID  UNTUK BERKREASI. ASALKAN HAL ITU DALAM BATAS-BATAS : KEBUTUHAN YANG RASIONAL,  OBJEKTIF, WAJAR (REASONABLE)  DAN SEWAJARNYA (PROPORSIONAL).

PRESIDEN DAPAT BERINISIATIF UNTUK MENGELUARKAN PERPRES YANG DIBUTUHKAN, KECUALI JIKA MATERI YANG HENDAK DIATUR ITU TERMASUK KATEGORI MATERI YANG HARUS DIATUR  DENGAN UNDANG-UNDANG, TENTU PRESIDEN TIDAK DAPAT MENUANGKANNYA DALAM BENTUK PERPRES.




6.   PERATURAN DAERAH  (PERDA)

      PERATURAN DAERAH PROVINSI ADALAH PERATURAN  
      PERUNDANG-UNDANGAN YANG DIBENTUK OLEH  DEWAN
      PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DENGAN
      PERSETUJUAN BERSAMA GUBERNUR (PASAL. 1 ANGKA  7 
      UU NO. 12 TAHUN 2011).

     PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA  ADALAH
     PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG DIBENTUK
    OLEH  DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN /
     KOTA  DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA  BUPATI/WALIKOTA
     (PASAL. 1 ANGKA  8  UU NO. 12 TAHUN 2011).

MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH PROPINSI DAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA BERISI MATERI MUATAN DALAM RANGKA  MENYELENGGARAKAN OTONOMI DAERAH DAN TUGAS PEMBANTUAN  SERTA  MENAMPUNG KONDISI KHUSUS DAERAH  DAN/ATAU PENJABARAN LEBIH LANJUT PERATURAN  PERUNDANG-UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI (PASAL. 14  UU  NO.  12  TAHUN  2011)


MENURUT PASAL. 136 AYAT (2), AYAT (3) DAN AYAT (4)  UU NO. 32 TAHUN 2004, 

BAHWA PERDA DIBENTUK DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN OTONOMI  DAERAH  PROPINSI/KABUPATEN/KOTA  DAN TUGAS PEMBANTUAN. 

PERDA  MERUPAKAN PENJABARAN  LEBIH LANJUT DARI  PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI DENGAN MEMPERHATIKAN CIRI KHAS MASING-MASING DAERAH. 

PERDA DILA RANG  BERTENTANGAN  DENGAN KEPENTINGAN UMUM DAN/ATAU PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI

BERDASARKAN  PASAL. 15  AYAT  (2)  DAN  AYAT (3) UU  NO. 12  TAHUN 2011, MENYATAKAN BAHWA  : PERDA PROVINSI MAUPUN PERDA KABUPATEN/KOTA DAPAT MEMUAT ANCAMAN PIDANA  KURUNGAN PALING LAMA 6 (ENAM) BULAN  ATAU  PIDANA  DENDA  PALING  BANYAK  Rp. 50.000.000  (LIMA PULUH JUTA  RUPIAH);

SELAIN  ITU DAPAT MEMUAT  ANCAMAN  PIDANA  KURUNGAN  ATAU PIDANA DENDA  SELAIN YANG DIATUR DALAM UU TERSEBUT, SESUAI DENGAN YANG DIATUR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN LAINNYA ;

ADAPUN  ANCAMAN  HUKUMAN YANG DIATUR DALAM PASAL. 143 UU  NO. 32  TAHUN  2004, PADA DASARNYA ADALAH SAMA DENGAN PASAL. 15  UU  NO. 12  TAHUN  2011, AKAN TETAPI SECARA SPESIFIK PADA  PASAL. 143  AYAT  (1)  UU NO.  32  TAHUN  2004,  DINYATAKAN BAHWA PERDA DAPAT MEMUAT KETENTUAN TENTANG PEMBEBANAN BIAYA PAKSAAN PENEGAKKAN HUKUM SELURUHNYA  ATAU  SEBAGIAN  KEPADA  PELANGGAR   SESUAI DENGAN  PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.  ARTINYA  PENGENAAN SANKSI TAMBAHAN DALAM BENTUK PEMBEBANAN BIAYA KEPADA PELANGGAR  PERDA  DI LUAR  KETENTUAN YANG DIATUR  DALAM KETENTUAN PIDANA.

Berdasarkan ketentuan UU 12/2011, UU 27/2009 dan Tata Tertib DPR tersebut, kami sarikan proses pembentukan undang-undang sebagai berikut:
1.      RUU dapat berasal dari DPR atau Presiden.
2.      RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
3.      RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya
4.      RUU tersebut kemudian disusun dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun serta dibuat pula dalam jangka waktu tahunan yang berisi RUU yang telah diurutkan prioritas pembahasannya.
5.      Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan Naskah Akademik kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu.
6.      Pimpinan DPR memberitahukan adanya RUU dan membagikan RUU kepada seluruh anggota DPR dalam rapat paripurna
7.      DPR dalam rapat paripurna berikutnya memutuskan RUU tersebut berupa persetujuan, persetujuan dengan perubahan, atau penolakan
8.      Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan.
9.      Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus
10.  Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I dilakukan dengan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini fraksi
11.  Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna. Dalam rapat paripurna berisi:
a.        penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I;
b.       pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
c.        pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.
12.  Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak
13.  RUU yang membahas tentang otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan wilayah; pengelolaan sumber daya alam atau sumber daya lainnya; dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan melibatkan DPD tetapi hanya pada pembicaraan tingkat I saja.
14.  Dalam penyiapan dan pembahasan RUU, termasuk pembahasan RUU tentang APBN, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR melalui pimpinan DPR dan/atau alat kelengkapan DPR lainnya.
15.  RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan Presiden diserahkan kepada Presiden untuk dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia

SISTEMATIKA TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN

KERANGKA PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN
A. JUDUL
B. PEMBUKAAN
1.            Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
2.            Jabatan Pembentuk PeraturanPerundang-undangan
3.            Konsiderans
4.            Dasar, Hukum
5.            Diktum
C. BATANG TUBUH
1.            Ketentuan Umum
2.            Materi Pokok yang Diatur
3.            Ketentuan Pidana (Jika diperlukan)
4.            Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan)
5.            Ketentuan Penutup
D. PENUTUP
E. PENJELASAN (Jika diperlukan)
F. LAMPIRAN (Jika diperlukan)
A.    JUDUL
            Judul Peraturan Perundangundangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor,  tahunpengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundangundangan. Nama Peraturan Perundangundangan dibuat secara singkat dan mencerminkan isi Peraturan Perundang-undangan. Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca.
Contoh:
PERATURAN DAERAH KOTA…..NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG
TAMAN KOTA
            Pada judul Peraturan Perundang-undangan perubahan ditambahkan frase perubahan atas depan nama Peraturan Perundang-undangan yang diubah,
Contoh
PERATURAN DAERAH KOTA…NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN NOMOR 15 TAHUN  2002TENTANG TAMAN KOTA
            Jika Peraturan Perundangundangan yang diubah mempunyai nama singkat,  Peraturan Perundangundangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundangundangan yang  diubah.
CONTOH
PERATURAN DAERAH KOTA…NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN DAERAH PENYEDIAN ARENA BERMAIN ANAK
Pada judul Peraturan Perundang-undangan pencabutan disisipkan kata pencabutan di depan nama Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
Contoh,
PERATURAN DAERAH KOTA…NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PENCABUTAN NOMOR 15 TAHUN 2002TENTANGTAMAN KOTA

B. PEMBUKAAN
Pembukaan Peraturan Perundangundangan terdiri atas:
1.            Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa;
2.            Jabatan Pembentuk Peraturan Perundangundangan;
3.            Konsiderans;
4.            Dasar Hukum; dan
5.            Diktum.

1.            Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 
Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundangundangan sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan Perundangundangan dicantumkan frase DENGAN RAHMAT  TUHAN YANG MAHA ESA  yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang  diletakkan di tengah marjin
2.            Jabatan Pembentuk Peraturan Perundangundangan
Jabatan pembentuk Peraturan Perundangundangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang
diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma.10
3.            Konsiderans
         Konsiderans diawali  dengan kata Menimbang.
        Konsiderans memua uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang  menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundangundangan.
       Pokok-pokok pikiran pada konsiderans UndangUndang atau peraturan daerah memuat unsure filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.11
       Pokok-pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan dianggap perlu untuk dibuat adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan tentang latar belakang dan alasan dibuatnya peraturan perundangundangan tersebut. Lihat juga Nomor
       Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian.
         Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.

Contoh:
Menimbang:    a. bahwa….;
 b. bahwa….;
 c. bahwa….;
4. Dasar Hukum
·         Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.
·         Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Perundangundangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan Perundangundangan tersebut.
·         Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang-undangan yang  tingkatannya sama atau lebih tinggi.
·         Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk atau Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum.13
·         Jika jumlah Peraturan Perundangundangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundangundangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.
·         Dasar hukum yang diambil dari pasal (-pasal) dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia  Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang berkaitan Frase UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.
Contoh
Mengingat:  Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara  Republik Indonesia                          Tahun 1945;
Dasar hukum yang bukan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan nama judul Peraturan Perundang-undangan. Penulisan undang-undang, kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital. Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden perlu dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara  Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh:
Mengingat:      1. . ….;
2. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi   (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 4316);
5. diktum
Diktum terdiri atas:
a.       Kata Memutuskan;
b.      Kata Menetapkan;
c.       Nama Peraturan Perundangundangan.

·         Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah marjin.
C.    BATANG TUBUH
Batang tubuh Peraturan Perundangundangan memuat semua substansi Peraturan Perundangundangan yang  dirumuskan dalam pasal (-pasal).
Pada umumnya substansidalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam:
1)        Ketentuan Umum;
2)        Materi Pokok yang Diatur;
3)        Ketentuan Pidana (Jika diperlukan);
4)        Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan);
5)        Ketentuan Penutup.
            Beberapa catatan penting mengenai batang tubuh Dalam pengelompokkan substansi sedapat mungkin dihindari adanya bab ketentuan lain atau sejenisnya.  Materi yang bersangkutan,  diupayakan untuk masuk ke dalam bab yang ada atau dapat pula  dimuat dalam bab tersendiri dengan judul yang sesuai dengan materi yang diatur.
            Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang  memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan.
            Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab.21
            Sanksi administratif dapat berupa,  antara lain, pencabutan izin,  pembubaran, pengawasan,  pemberhentian sementara,  denda administratif, atau daya paksa polisional. Saksi keperdataan dapat berupa,  antara lain, ganti kerugian. Pengelompokkan materi Peraturan
Perundang-undangan dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan
paragraf. Jika Peraturan Perundangundangan mempunyai materi yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal (-pasal) tersebut dapat dikelompokkan menjadi:  buku (jika merupakan kodifikasi),  bab, bagian, dan paragraf.
Pengelompokkan materi dalam buku, bab, bagian, dan paragraph dilakukan atas dasar kesamaan materi.
Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut:
a.       bab dengan pasal (- pasal) tanpa bagian dan paragraf,
b.      bab dengan bagian dan pasal (-pasal) tanpa paragraf-, atau

c.       bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal (-pasal).
Ciri – ciri Bahasa Perundang undangan :
1.      Lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti
2.      Bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai
3.      Objektif (tidak emosi dalam menggungkapkan maksud tujuan )
4.      Memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat
5.      Penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu dirumuskan dalam bentuk tunggal