Pengertian &Letak Politik
Hukum
Pengertian Politik Hukum
Politik Hukum menurut Mahfud MD adalah suatu keadaan
dimana karakter produk hukum ditentukan oleh konfigurasi politik
Politik Hukum menurut Padmo adalah politik hukum
merupakan kebijakan dasar yang menentukan bentuk,arah, dan isi hukum yang akan
dibentuk.
Sucipto, politik Hukum adalah merupakan kebijakan dari
negara melalui lembaga-lembaga egara yang berwenang menetapkan peraturan yg
dikehendaki, yg diperkirakan Digunakan untuk mengekspresikan apa yang
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Istilah Politik Hukum Merupakan terjemahan dari Bahasa
Belanda yaitu Rect Politiek dan di Belanda di kenal juga Hukum Politik yaitu
Politiek Recht
Dalam Bahasa Inggris sering disebut Policy (kebijakan)
jadi bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Politik Hukum adalah suatu
kebijakan di dalam bidang hukum atau kebijakan mengenai Hukum
Siapa pemegang
kekuasaan kebijakan dan dimana memiliki kebijakan di bidang hukum?
Yang memilki kebijakan adalah politiki,politisi tersebut
memiliki kebijakan di dalam bidang hukum, di dalam negara yang memangang
kebijkan itu sekurang-kurangnya ada 2 yaitu legislatif dan eksekutif
Politik Recht berbeda dengan Politik hukum karena hukum
politik itu membahas tentang aturan main atau peraturan di bidang politik
(ex:UUD 45)
TUJUAN
POLITIK HUKUM NASIONAL
- Sabagai
salah satu alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh
pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki
- Dengan
sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang
lebih besar
Letak Politik Hukum
Pertanyaan letak politik hukum di dalam ilmu ilmu hukum
secara akademis memang sudah lama muncul. Kerapkali ditanyakan, apakah politik
hukum itu masuk di dalam rumpun ilmu hukum atau justru masuk di dalam ilmu
politik?
Karena ilmu hukum lebih dekat dengan dengan bagian Hukum
Tata Negara bahkan dianggap bagian dari studi Hukum Tata Negara, maka disni
dapat disebutkan adanya pandangan yang memang berbeda di kalangan para ahli
Hukum Tata Negara sendiri pada masa lalu.
Dua ahli Hukum Tata Negara dari Belanda, Burkens dan
Belifante, misalnya tercatat sebagai orang-orang yang padangannya berbeda.
Burkens mengatakan bahwa Hukum Tata Negara itu hanya
mempelajari hukum positif, sedangkan Belifante berpendapat bahwa objek Hukum
Tata Negara itu mencangkup juga hal-hal yang diluar hukum positif. Cangkupan
studi Hukum Tata Negara versi Belinfante inilah yang memberi tempat bagi studi
tentang Politik Hukum sebagai bagian dari ilmu hukum, khususnya Hukum Tata
Negara.
Selain menurut Belinfante, sebenarnya letak Politik Hukum
di dalam studi Ilmu Hukum dapat ditemukan di dalam Pohon Ilmiah Hukum.
Jika pohon Ilmiah Hukum dibayangkan sebagai sebuah pohon,
maka akan tergambar unsur-unsur pohon sekurang-kurangnya terdiri dari
akar,pohon/batang, cabang, dan ranting ilmu hukum dan seterusnya. Jika
dikonkretkan dalam penjenisan studi hukum, maka pohon Ilmiah Hukum di Indonesia
akan mencangkup hal-hal sebagai berikut:
- Akar ilmu hukum adalah filsafat bangsa dan ideologi
negara. Di Indonesia, akar ilmu hukum adalah Pancasila dan Pembukaan UUD
45 yang meletakan prinsip-prinsip dan penuntun kaidah hukum tertentu dalam
pembuatan berbagai produk peraturan perundang-undangan. Dari sinil
kemudian dapat diketahui bahwa studi tentang filsafat hukum merupakan
bagian dari studi ilmu hukum.
- Batang/pohon ilmu hukum adalah serat-serat pohon
atau subsistem kemasyarakatan sepertti sosiologi, sejarah, politik
ekonomi, budaya administrasi dan sebagainya, yang melahirkan cabang-cabang
hukum. Disini kemudian muncul studi tentang sejarah hukum, sosiologi
hukum, budaya hukum, politik hukum, psikologi hukum, administrasi hukum
dan sebagainya yang semuanya menjadi bagian dari studi ilmu hukum.
- Cabang-cabang ilmu hukum adalah hukum positif yang
dibedakan atas berbagai bidang pokok seperti Hukum Perdata, Hukum Pidana,
Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara dan sebagainya. Cabang-cabang
ini kemudian melahirkan ranting-ranting ilmu hukum.
Bagian-bagian inilah yang kemudian menjadi objek
konvensional dalam studi hukum sehingga karena penekanan pada bagian ini
pulalah studi hukum hanya diartikan sebagi studi atas hukum positif.
Dari gambaran Pohon Ilmiah Hukum itu, tampak jelas bahwa
studi ilmu hukum itu sebenarnya mencangkup banyak aspek di luar hukum positif,
sebab hukum positif hanya mencangkup cabang dan ranting-ranting. Politik Hukum
menjadi bagian dari studi ilmu hukum dan jika dikaitkan dengan Pohon Ilmiah
Hukum tersebut, studi Politik Hukum berada pada bagian batang/pohon ilmu hukum.
Oleh sebab itu, menjadi penting untuk ditekankan bahwa
hendaknya studi hukum tidak terbelenggu hanya pada pandangan konvensional bahwa
ilmu hukum adalah hukum positif atau ilmu tentang hukum yang secara formal
berlaku. Sebab, pandangan seperti hanya dapat melahirkan orang-orang yang
berpikir formal legalistik belaka.
Studi ilmu hukum harus merambah secara kuat dalam semua
unsur pohon ilmiahnya seperti filsafat, politik, sosiologi, administrasi,
manejemen dan data sebagianya, sebab cabang dan rating ilmu hukum itu tak
mungkin lepas dari akar dan batangnya.
HUBUNGAN
KAUSALITAS ANTARA HUKUM DAN POLITIK
apakah
hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum?
maka
paling tidak ada tiga macam jawaban dapat menjelaskan
Pertama,
hukum
determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh
dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Kedua,
politik
deteriminan atas hukum, kerena hukum merupakan hasil atau kritalisasi dari
kehendak-kehendak politik saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan.
Ketiga,
politik
dan hukum sebagai subsitem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat
determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun
hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua
kegiatan politik harus tuduk
pada aturan-aturan hukum.
Adanya
perbedaan jawaban atas pertanyaan tentang mana yang lebih determinan di antara
keduanya, terutama perbedaan antara alternatif jawaban yang pertama dan kedua,
disebabkan oleh perbedaan cara pandang para ahli memandang kedua subsistem
kemasyarakatan tersebut.
Mereka
yang hanya memandang hukum dari susut da sollen (keharusan) atau para
idelais perpegang teguh pada pandangan, bahwa hukum harus merupakan pedoman
dalam segala kegiatan politik.
Sedangkan
mereka memandang hukum dari sudut das sein (kenyataan) atau para
penganut paham empiris melihat secara realistis, bahwa produk hukum sangat
dipengaruhi oleh politik, bukan asaja dalam pembuatannya, tetapi dalam
kenyataan-kenyataan empirisnya.
Kegiatan
legislatif (pembuatan UU) dalam kenyataannya memang lebih banyak membuat
keputusan-keputusan politik dibandingkan dengan menjalakan pekerjaan hukum sesungguhnya, lebih-lebih jika perkerjaan itu
dikaitkan dengan masalah
prosedur.
Tampak
jelas bahwa lembaga legislatif (yang menetapkan produk hukum) sebenarnya lebih
dekat dengan politik daripada dengan hukum itu sendiri.
Dengan
demikian jawaban tentang hubungan kausalitas antara hukum dan politik dapat
berbeda, tergantung dari perspektif yang dipakai untuk memberikan jawaban
tersebut.
bahwa
dalam hubungan tolak tarik antara politik dan hukum , maka hukumlah yang terpengaruh
oleh politik, karena subsistem politik
memiliki konsentrasi energi yang lebih besar dari dapa hukum.
Sehingga jika harus berhadapan dengan politik,
maka hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah.
Dalam kaitan ini, Lev, mengatakan untuk memahami
sistem hukum di tengah-tengah tranformasi politik harus diamati dari bawah dan
dilihat peran sosial politik apa yang diberikan kepadanya.
Karena
lebih kuatnya konsentrasi energi politik, maka menjadi beralasan adanya
konsentrasi bahwa kerapkali otonomi hukum di Indonesia ini di investasikan oleh
politik. Bukan hanya dalam proses pembuatannya, tetapi juga dalam
implementasinya.
Sri
Soemantri pernah mengonstatasi hubungan antara hukum dan politik di Indonesia
di ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang keluar dari relnya. Jika hukum
diibaratkan rel dan politik diibaratkan lokomotif maka sering terlihat
lokomotif itu keluar dari rel yang seharusnya dilalui.
Prinsip
(atau sekedar semboyan) yang menyatakan politik dan hukum harus bekerja sama
dan saling menguatkan melalui ungkapan “hukum tanpa kekuaasan adalah
angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman, menjadi semacam utopi
belaka.
Hal
itu terjadi karena di dalam praktiknya hukum kerapkali menjadi cermin dari
kehendak pemegang
kekuasaan politik sehingga tidak sedikit orang yang memandang bahwa hukum sama
dengan kekuasaan.
Apeldoorn
misalnya mencatat, adanya beberapa pengikut paham bawha hukum adalah kekuasaan.
Pertama, kaum Sofis di Yunani yang mengatakan keadilan adalah apa yang
berfaedah bagi orang yang kuat.
Kedua,
Lassalle
mengatakan konstitusi suatu negara bukanlah undang-undang dasar yang tertulis
yang hanya merupakan secarcik kertas, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan
yang nyata di dalam suatu negara.
Ketiga,
Gumplowics
mengatakan hukum berdasar atas penaklukan yang lemah oleh yang kuat hukum
adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan
kekuasaanya.
Keempat,
sebagian
pengikut aliran positivisme juga mengatakan kepatuhan kepada hukum tidak lain
dari tunduknya orang yang lemah pada kehendak yang lebih kuat, sehingga hukum
hanya merupakan hak orang yang terkuat.
Sehubungan
dengan “lebih kuatnya energi” politik dalam berhadapan dengan hukum, apa yang
dikemukakan oleh
Dahrendrorf dapat memperjelas mengapa hukum menjadi cermin dari kehendak
pemegang kekuasaan atau identik dengan kekuasaan.
Dengan
merangkum karya tiga sosiolog
(Pareto, Mocsca dan Aron). Dahrendorf mencatat ada enam ciri kelompok dominan
atau kelompok pemegang kekuasaan politik.
Pertama,
jumlahnya
selalu lebih kecil dari jumlah kelompok yang dikuasai.
Kudua,
memiliki
kelebihan dan kekayaan khusus untuk tetap memelihara dominasunya berupa
kekayaan materiil, intelektual dan kehormatan moral.
Ketiga,
dalam
pertentangan selalu terorganisir lebih baik daripada kelompok yang ditundukan.
Keempat,
kelas
penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang memegang posisi dominan dalam
bidang politik sehingga elite pengeasa diartikan sebagai elite penguasa dalam
bidang politik.
Kelima, kelas penguasa selalu perupaya
memonopoli dan mewariskan kekuasaan politiknya kepada kelas/kelompoknya
sendiri.
Keenam, ada reduksi perubahan sosial
terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.
Dengan
menggunakan asumsi dasar bahwa hukum sebagai produk politik, maka politik akan
sangat menentukan hukum sehingga studi ini meletakan politik sebagai variabel bebas dan hukum sebagai
variabel terpengaruh.
Dengan
pernyataan hipotesis yang lebih spesifik dapat dikemukakan bahwa konfigurasi
politik suatu negara akan melahirkan karekter produk hukum tertnetu di nergara
tersebut.
Di
negara yang konfigurasinya demokratis, maka produk hukumnya berkareakter responsif/populistik
, sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter, maka produk
hukumnya berkarakter ortodoks/konservatif/elitis. Perubahan
konfigurasi politik dari otoriter ke demokrasi atau sebaliknya berimplikasi
pada perubahan karekter produk hukum.
Teori Bentuk Negara
Polybios menjelasakan bhawa sebagai bentuk negra yang
tertua, ialah monarkhi, pemrintahan dijalankan oleh seorang pimpinan negara,
karena orang tersebut mempunyai bakat kepandaian dan keberanaian dari yang lain
sehingga merupakan primus iner pareates atau yang pertama di anatra yang
sama dnegan onder de gelijken.
Ia memerintah dengan baik dan ditunjukan demi kepentingan
umum berdasandaskan keadilan. Akan tetapi paa penggantinya kemudian bertindak
menyeleweng, memerintah demi kepentingan diri
pribadi dan sewenang-wenang,
karena itulah timbul Tirani.
Dari bentuk negara tirani lama kelamaan para wargnya memberontak karena
tidak tahan akan penderitaan dan penidasaan yang dilakukan oleh seorang tirani
itu. Hasil dari perlawanan itu, para warga memilih beberapa dari golongan
ningrat yang cerdik pandai yang diberi kepercayaan untuk memerintah. Dengan itu
timbullah bentuk negara Aristokrasi
Kemudian Aristokrasi ini mengalami kemunduran dan
kemerosotan karena pimpinan nergara bertindak maik hakim sendiri demi
kepentingan mereka yang memerintah, bertindak main hakim sendiri secara
semena-mena. Hal yang demikian itu mengakibatkan terbentuknya negara Oligarkhi.
Dan bentuk negara oligarkhi pun mengalami nasib yang sama
seperti tirani, karena tindakan sewenang-wenang dan “memperkosa” hukum, menimbulkan perlawanan dari pihak
warganya terhadap beberapa pimpinana negara itu.
Di dalam perjuangan itu warnya mendapatkan kemenangan.
Karena warga ini mendapatkan kewenangan di dalam perjuangan itu mengabil alih
kekuasaan pimpinan negara. Maka mereka, yaitu para warga memengang pemrintahan.
Maka pemerintahan dipegang oleh dan untuk kepentingan
rakyat pada umumnya sehingga timbullah bentuk negara Demokrasi.
Dan apabula proses demokrasi mendapatkan kemunduran disebabakan oeh warganya atau rakyat tidak
tahu sedikitpun tentang pemerintahan dan
tana pendidikan turut campur dalam pemerintahan secara liar dari rakyat, karena itu timbullah negara
Okhlokrasi.
Setelah pemerintahan
okhlokrasi yang menimbulkan kebejatan dan keboborkan dari demokrasi ini maka
terjadilah titik puncaknya, yaitu para warganya sadar dan menginginkan adanya
pemerintahan yang adil. Karena itu munculah seorang warga yang berani maju ke
depan dan mengambil alih pimpinan nergara. Imbul kemablai