Translate

Selasa, 21 April 2015

ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI HUKUM

ETIKA PROFESI dalam Struktur Kurikulum Pendidikan Tinggi pada Fakultas Hukum Universitas Wiralodra Indramayu
Nomenklatur ETIKA PROFESI dalam Struktur Kurikulum Fakultas Hukum Universitas Wiralodra Indramayu dengan nama ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI HUKUM.
Etika Dan Tanggung Jawab Profesi Hukum termasuk ke dalam Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) yaitu kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia menjadi Sarjana Hukum yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Diharapkan dengan MPK ini fakultas hukum UNWIR dapat menjadikan Sarjana-sarjana Hukum UNWIR yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki etika & tanggung jawab pengabdian kpd masyarakat, bangsa dan negara Indonesia dalam profesinya masing-masing.
PENGERTIAN ETIKA
Etika berasal dari kata Yunani Ethos yaitu adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik.
Dalam Kamus Bahasa Inggris ethos diartikan sebagai jiwa khas suatu bangsa.
ETIKA adalah pola pikir dan sikap perilaku yang dinyatakan secara tegas mana yang baik dan benar, mana yang benar dan salah, mana yang kontribusi dan korupsi, mana yang sopan dan tidak sopan, mana yang patut dan tidak patut.
ETIKA adalah bersumber dari nilai-nilai ajaran agama yang bersifat universal, dan nilai-nilai yang tercermin dari kepribadian dan budaya bangsa yang tercakup di dalam Pancasila.
Etika dipergunakan Aristoteles (384-322 BC) untuk menunjukkan Filsafat Moral
Dengan demikian, Ethos yang artinya dorongan dari dalam jiwa atau semangat untuk menjadi lebih baik atau sebaliknya. Ethos dari bahasa Yunani artinya adat istiadat atau kebiasaan yang baik.
Etiket diartikan sebagai aturan (pakai), sopan santun, tatakrama.



Dalam Kamus Bahasa Indonesia etos diartikan sebagai pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial di dalam masyarakat.
Sedangkan Etika dalam Kamus Bahasa Indonesia (1988) dirumuskan dengan 3 arti, yaitu
1.      ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan  tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)
2.      kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
3.      nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Menurut Bertens tiga arti Etika tersedut di atas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Etika dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini disebut juga sebagai “sistem nilai” dalam hidup manusia orang Jawa, Etika agama Budha.
2.      Etika dipakai dalam arti kumpulan asas atau nilai moral.
3.      Etika dipakai dalam arti ilmu  tentang yang baik atau yang buruk. Arti Etika di sini sama dengan filsafat moral.
Dihubungkan dengan Etika Profesi Hukum, Etika dalam arti pertama dan kedua adalah relevan, karena kedua arti tersebut berkenaan dengan perilaku seseorang atau kelompok profesi hukum.
Dihubungkan dengan arti yang kedua, Etika Profesi Hukum berarti Kode Etik Profesi Hukum.
PENGERTIAN ETIKA PROFESI HUKUM
1.      ETIKA adalah pola pikir dan sikap perilaku yang dinyatakan secara tegas mana yang baik dan benar, mana yang benar dan salah, mana yang kontribusi dan korupsi, mana yang sopan dan tidak sopan, mana yang patut dan tidak patut.
2.      PROFESI adalah suatu pekerjaan tetap yang dilakukan dengan menerapkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan dihayatinya sebagai panggilan hidup yang terikat, baik pada etika yang umum maupun pada etika yang khusus (etika profesi).
3.      HUKUM adalah seperangkat norma/kaidah yang merupakan petunjuk atau pedoman tentang bagaimana seseorang melakukan kegiatan atau berbuat dan  bertingka laku di dalam pergaulan hidup bersama.
Etika Profesi Hukum adalah Pola atau Pedoman perilaku yang digunakan seseorang dalam peranannya di dalam pekerjaannya, bertanggung jawab membantu mewujudkan nilai-nilai hidup dalam tingkah laku sehari-hari di dalam masyarakat terutama di lingkungan pekerjaannya.
Soren Kierkegaard (1954), seorang filsuf Denmark pelopor  ajaran “eksistensialisme” memandang eksistensi manusia dalam kehidupan secara konkret adalah makhluk alamiah yang terikat dengan lingkungannya, memiliki sifat-sifat alamiah dan tunduk pada hukum alamiah pula.
Keterikatan dengan lingkungannya tercermin pada kehidupan sosial (daya rasa sosial) dan perilaku etis (daya rasa etis).
Melalui dimensi budaya manusia berjuang untuk maju merubah hidupnya dengan meningkatkan kualitas hidupnya.
Tuhan tidak akan merubah nasib suatu bangsa jika bangsa itu tidak merubah nasibnya sendiri, dengan kata lain, bangsa tersebut tidak berkehendak adanya suatu perubahan.

Manusia seutuhnya adalah manusia kodrati yang di dalam dirinya berfungsi ketiga unsur budaya, yaitu akal, rasa dan karsa.
Perbuatan manusia seutuhnya adalah perbuatan moral yang dilandasi ketiga unsur budaya tersebut.
Perbuatan moral menuntun manusia menuju kebahagiaan, ketertiban, kestabilan dan kemajuan.
Ciri norma moral adalah mengandalkan kesadaran manusia, artinya tidak boleh berbuat semaunya. Yang termasuk norma moral adalah norma kesusilaan, norma hukum dan norma agama.
Keseluruhan norma moral adalah hukum moral, yaitu tuntunan perilaku manusia yang ditaati karena kesadaran yang bersumber pada hati nurani untuk mencapai kebahagiaan.
Ciri utama hukum moral adalah pada keberlakuannya yang tidak dipaksakan dan bersifat universal. Contohnya:  manusia memenuhi perjanjian, anak menghormati orangtua, murid menghormati guru, memelihara kerukunan hidup bertetangga, profesional menghargai profesi keilmuannya, larangan meludah di ruang pertemuan, menghargai pendapat orang lain, larangan membunuh manusia, larangan mencuri barang orang ain.
Hukum moral terdiri atas 3 jenis, yaitu hukum kodrat, hukum wahyu dan hukum manusia. Ketiganya dapat berupa norma moral dan norma hukum.

Hukum Kodrat sebagai norma yang ditetapkan oleh Tuhan berupa gejala alam yang bersifat konkret dan gejala yang menguasai kodrat manusia dan berada dalam diri manusia yang bersifat abstrak.
Hukum kodrat dalam diri manusia berfungsi sebagai aturan hidup yang diwujudkan melalui perbuatan.
Tujuan hukum kodrat adalah kebaikan tertinggi dari Tuhan.
Untuk mencapai tujuan tersebut setiap manusia berbuat baik.
Agar manusia berbuat sesuai dengan fungsi hukum kodrat, maka penguasa (pembentuk undang-undang) menjelmakan hukum kodrat ke dalam bentuk hukum positif. Hukum Positif dibuat bertujuan agar setiap warga negara berkelakuan baik, sehingga dapat dicapai kebaikan tertinggi dai Tuhan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka setiap warga negara harus menaati hukum positif dan untuk menjamin ketaatan tersebut, penguasa melengkapinya dengan sanksi yang keras bagi pelanggarnya.
Sanksi yang keras ini merupakan ciri keunggulan hukum positif buatan penguasa.

Immanuel Kant (1724 – 1804) menjelaskan tentang hubungan antara norma moral dan norma hukum. Hubungan tersebut terdapat pada penyesuaian sikap. Pada norma moral yang dihadapi adalah sikap moralitas, yaitu penyesuaian diri dengan kewajiban moral, dalam hal ini hati nurani  (kesadaran) manusia itu sendiri yang menjadi motivasi sebenarnya dari perbuatan. Sedangkan pada norma hukum, yang dihadapi adalah sikap legalitas, yaitu penyesuaian diri dengan ketentuan undang-undang (hukum positif) dalam hal ini, undang-undang (hukum positif) yang menjadi motivasi perbuatan. Dalam filsafat hukum Kant melakukan penelitian sistematis terhadap fungsi akal manusia sesuai dengan 3 fungsi kesadaran manusia, yaitu berfikir, berkehendak dan merasakan dalam karyanya yang pertama: Kritik atas Akal Murni berhubungan dengan Persepsi, yang kedua: Kritik atas Akal Praktis mengenai Moralitas. Dan yang ketiga: Kritik atas Kemampuan Menilai mengenai Estetika.
Hukum menurut Kant adalah ketentuan-k etentuan yang menjamin kehendak pribadi sesuai dengan kehendak pribadi lain menurut  norma umum kebebasan. Tata hukum diartikan sebagai sikap moral manusia.

A. Reinach (1883 – 1917) mengatakan bahwa norma moral berlaku karena suara hati nurani.
Norma hukum adalah norma buatan manusia yang diperlukan untuk merealisasikan norma moral (hukum kodrat dan hukum wahyu) ke dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, norma moral merupakan sumber hukum positif.
Hukum positif adalah bagian dari hukum buatan manusia yang dibentuk oleh penguasa negara atau kelompok masyarakat untuk menjamin berlakunya hukum moral dalam kehidupan manusia.
Berlakunya hukum positif selain karena kesadaran juga dipaksakan manusia, sedangkan norma hukum berlaku atas  dasar perjanjian.  Atas dasar inilah hak moral tidak pernah hilang dan tidak dapat beralih kepada pihak lain, sedangkan hak hukum dapat hilang dan beralih sesuai dengan perjanjian. Norma moral mengatur kehidupan batiniah dan lahiriah, sedangkan norma hukum mengatur kehidupan lahiriah. Sarana pemaksaan itu berupa sanksi hukum.
Moralitas perbuatan itu ditentukan oleh motivasi, tujuan akhir, dan lingkungan perbuatan.
HAKEKAT MANUSIA SEBAGAI MAHKLUK HIDUP
Manusia adalah makhluk  ciptaan Tuhan yang paling sempurna, karena dilengkapi oleh Penciptanya dengan akal, perasaan, dan kehendak.
            Akal adalah alat berpikir sebagai sumber ilmu dan teknologi untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah.
            Perasaan adalah alat untuk menyatakan dan menilai mana yang indah (estetis) dan mana yang jelek sebagai sumber keindahan.
            Kehendak adalah alat untuk menyatakan pilihan mana yang baik dan mana yang buruk sebagai sumber kebaikan. Dengan kehendak manusia menilai mana yang baik dan yang buruk sebagai sumber nilai moral.
            Masyarakat adalah sekumpulan orang dari berbagai golongan atau kelompok manusia yang mempunyai sifat dan perilaku yang berbeda.
HAKEKAT MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA
Budaya asal kata dari bahasa Sanskerta buddhayah bentuk jamak dari buddhi yang artinya budi atau akal. Budaya juga merupakan kata majemuk dari budi-daya yang artinya daya (kekuatan) dari budi, kekuatan dari akal.
Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah culture atau cultuur (Belanda) yang berasal dari bahasa latin colere yang artinya mengolah, mengerjakan, terutama berkaitan dengan mengolah tanah atau bertani. Dari pengertian tersebut berkembang menjadi culture yang artinya segala daya dan usaha manusia untuk merubah alam (sesuai kehendaknya/alam dan manusia).
            Oleh karena itu, Manusia disebut juga sebagai MAKHLUK BUDAYA yang berbudi dan berakal (berdaya).
            Melalui dimensi budaya manusia berjuang dan berkarya untuk maju dan meningkatkan kualitas hidupnya sebagai cerminan mutu dan martabatnya sebagai manusia yang berbudaya.
HAKEKAT KEBUTUHAN DASAR MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL
Manusia di dalam Masyarakat membutuhkan perlindungan bagi kepentingannya baik kepentingan individu dan/atau kelompok.
Masyarakat merupakan kelompok atau kumpulan manusia yang terdiri dari Individu-individu dengan berbagai kepentingan dan berbagai kebutuhan.
Kebutuhan manusia dapat diklasifikasikan ke dalam 4 jenis, yaitu :
1. Kebutuhan Ekonomi yang bersifat material untuk kepentingan pribadinya bagi kesehatan dan  keselamatan jasmaninya, seperti pakaian, makanan, perumahan.
2. Kebutuhan Psikis yang bersifat immaterial untuk kepentingan  pribadinya bagi kesehatan dan keselamatan rohaninya, seperti pendidikan, hiburan, penghargaan dan agamanya.
3. Kebutuhan Biologis yang bersifat seksual untuk kepentinga  pribadinya membentuk keluarga dan kelangsungan hidup generasinya secara turun   temurun, seperti perkawinan dan berumah tangga
4. Kebutuhan Pekerjaan yang bersifat praktis untuk mewujudkan ketiga jenis kebutuhan di atas, seperti perusahaan, profesi.
Keempat kebutuhan di atas biasa disebut sebagai Kebutuhan Dasar, yaitu:
a.       Pakaian (sandang)
b.      Makanan (pangan)
c.       Perumahan (papan)
d.      Pendidikan (keahlian)
e.       Hiburan (rekreasi)
f.       Perkawinan (rumah tangga)
g.      Pekerjaan (perusahaan, profesi).
           
DIMENSI BUDAYA MANUSIA DENGAN LINGKUNGAN HIDUPNYA
Kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut dapat dipenuhi dengan baik dan sempurna apabila manusia individual itu berhubungan dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial (masyarakat) serta lingkungan buatan (manusia) itu sendiri dan didukung oleh faktor-faktor : 1. kemauan kerja keras (nilai moral); 2. Kemampuan intelektual (nilai kebenaran); 3. Sarana penunjang (nilai kegunaan).
Bekerja merupakan Kodrat Manusia, sebagai Kewajiban Dasar. Manusia dikatakan mempunyai martabat apabila dia mampu bekerja keras. Pekerjaan diklasifikasikan ke dalam 3 jenis :1. Pekerjaan dalam arti umum (apa saja yang mengutamakan kemampuan fisik, baik sementara atau tetap dengan tujuan untukmendapat upah); 2. Pekerjaan dalam arti tertentu (yang mengutamakan kemampuan fisik/intelektual, baik sementara atau tetap dengan tujuan pengabdian. 3. Pekerjaan dalam arti khusus (yang berkaitan dengan bidang tertentu, mengutamakan kemampuan fisik dan Intelektual, bersifat tetap dengan tujuan memperoleh pendapatan.
Kebutuhan tersebut  hanya dapat dipenuhi dengan sempurna apabila berhubungan dengan manusia lain dalam masyarakat. Tujuan hidup bermasyarakat ialah terpeliharanya ketertiban, kestabilan dan kebahagiaan berdasarkan hukum kebiasaan. Karena pada hakekatnya manusia adalah makhluk budaya yang menyadari bahwa yang benar, yang indah, dan yang baik itu adalah keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kebutuhan psikhis yang menyenangkan, membahagiakan, menenteramkan, dan memuaskan manusia.
Hubungan tersebut dilandasi oleh ikatan moral yang mewajibkan pihak-pihak mematuhinya. Berdasarkan ikatan moral tersebut pihak-pihak memenuhi apa yang seharusnya dilakukan (kewajiban) dan memperoleh apa yang seharusnya didapati (hak) dalam keadaan seimbang.

MANUSIA DAN SISTEM NILAI
Sistem Nilai yang dianut masyarakat itu menjadi tolok ukur kebenaran dan kebaikan cita-cita dan tujuan yang hendak dicapai dalam kehidupan. Sistem Nilai tersebut berfungsi sebagai kerangka acuan  untuk menata kehidupan pribadi dan menata hubungan antara manusia  dan manusia serta alam di sekitarnya.
Individu sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan manusia lainnya. Penataan hubungan manusia dengan manusia lainnya itu diperlukan aturan yang merupakan cerminan sistem nilai.
Sistem Nilai menjadi dasar kesadaran masyarakat untuk mematuhi norma hukum yang diciptakan yang terdiri atas HAK dan KEWAJIBAN.
Aturan dalam bentuk konkret yang bersumber pada sistem nilai disebut NORMA HUKUM. NORMA HUKUM tersebut  berupa HUKUM POSITIF.
Theo Huijbers (1995) membedakan 2 jenis Hak yang terdapat pada manusia, yaitu:          1. Hak Manusia (human rights)
            2. Hak Undang-undang atau Hak Hukum (legal rights)

MANUSIA dan HAK ASASI
Hak Manusia adalah hak yang dianggap melekat pada setiap Manusia sejak lahir, sebab berkaitan dengan realitas hidup manusia sendiri. Hak tersebut dinamakan “hak manusia” sebab manusia harus dinilai menurut martabatnya. Hak tersebut tidak dapat direbut atau dicabut, sebab sudah ada sejak manusia itu ada, tidak bergantung dari persetujuan orang, merupakan bagian dari eksistensi manusia di dunia.
Jadi hak manusia mempunyai sifat dasar, asasi, sehingga disebut juga sebagai Hak Asasi Manusia (human rights). Diantara rumusan yang terpenting ada di dalam:
a. Magna Charta : manusia berhak menghadap pengadilan (1215)
b. The Virginia Bill of Rights: manusia berhak atas life, liberty,
     the pursuit of happiness (1776)
c. Declaration des droits de l’homme et du citoyen. Manusia
    berhak atas egalite, fraternity, liberty (1791)
HAK ASASI MANUSIA terdiri dari :
1.
Hak Asasi  Individual, dan
2. Hak Sosial
Hak asasi yang melekat pada pribadi manusia secara individual adalah hak hidup dan perkembangannya sejak di dalam kandungan sampai dilahirkan, sejak kecil sampai dewasa, yaitu :
            (a) kebebasan batin
            (b) kebebasan beragama
            (c) kebebasan hidup pribadi (privacy)
            (d) nama baik
            (e) melakukan pernikahan
            (f) emansipasi wanita
Hak asasi yang melekat pada pribadi manusia sebagai makhluk sosial terdiri atas: hak ekonomi, sosial, politik dan kultural. Hak-hak ini adalah hak-hak yang menyangkut pemenuhan kebutuhan pokok hidup manusia, yaitu pangan, sandang, perumahan, kesehatan, kerja, pendidikan.
Di negara sosialis, hak-hak sosial lebih diutamakan daripada hak-hak individual, sebaliknya di negara liberalis, setiap manusia individual lebih bebas memperjuangkan hak-haknya.
Hak Undang-undang adalah hak yang melekat pada manusia karena diberikan oleh Undang-undang.
Hak undang-undang tersebut tidak langsung berhubungan dengan martabat manusia, melainkan karena tertampung dalam undang-undang (yang dibuat oleh manusia). Jadi adanya hak undang-undang ini bukan sebagai bagian dari eksistensi manusia. Karena hak ini diberikan oleh undang-undang, maka pelanggaran hak ini dapat dituntut di depan Pengadilan berdasarkan undang-undang.
Hak yang diberikan undang-undang itu antara lain:
menjadi PNS,
memilih dan dipilih dalam Pemilu
pensiun hari tua
santunan asuransi kecelakaan
Upah layak dalam hubungan kerja.
Pemenuhan hak dan kewajiban yang seimbang ini menyenangkan, membahagiakan, menenteramkan, dan memuaskan pihak-pihak. Karena inilah yang menjadi tujuan hidup manusia dalam hidup bermasyarakat, yaitu terpenuhinya kebutuhan jasmani dan rohani secara seimbang.
Selama nilai moral keseimbangan itu ada, maka selama itu pula manusia hidup bahagia dan damai.
Untuk menyempurnakan hidupnya manusia harus bekerja keras dan berkarya sebagai kebutuhan dan sekaligus bukti kualitas dan martabat manusia.
Apabila dihubungkan dengan kegiatan profesi hukum, maka kebutuhan manusia untuk memperoleh layanan hukum juga termasuk dalam lingkup dimensi budaya perilaku manusiawi yang dilandasi nilai moral dan nilai kebenaran. Atas dasar inilah, maka beralasan bagi pengemban profesi hukum untuk memberikan layanan bantuan hukum yang sebaik-baiknya kepada klien yang membutuhkannya. Hak untuk memperoleh layanan dan kewajiban memberikan layanan dibenarkan oleh dimensi budaya manusia.
Akan tetapi kenyataannya, manusia menyimpang dari dimensi budaya tersebut, sehingga perilaku yang ditunjukkannya justru melanggar nilai moral dan nilai kebenaran yang  seharusnya dia junjung tinggi. Mengapa hal ini terjadi?
Dalam kehidupan manusia disadari bahwa yang benar, yang indah dan yang baik itu menyenangkan, membahagiakan, menentramkan, dan memuaskan manusia.
Sebaliknya, yang salah, yang jelek, dan yang buruk itu menyengsarakan, menyusahkan, menggelisahkan, dan  membosankan manusia.
Dari dua sisi pandang yang bertolak belakang di atas, manusia adalah sumber penentu yang menimbang, menilai, memutuskan untuk memilih yang paling menguntungkan (nilai moral).
Kehendak manusia ini merupakan faktor sentral yang memberikan ciri pada tatanan hukum. Sebagai unsur pengambil keputusan, maka kehendak manusia ini bisa menerima dan mengangkat kebiasaan sehari-hari sebagai norma hukum, tetapi ia juga bisa menolaknya. Di sinilah kita melihat kemandirian dari hukum berhadapan dengan ideal & kenyataan itu. Kemandirian adalah suatu posisi yang mampu mengambil jarak antara ideal dan kenyataan, tidak dimiliki oleh tatanan kebiasaan dan tatanan kesusilaan.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja: “manusia memiliki kapasitas dan kapabelitas yang dapat diukur sebagai indikator kekuasaan yang didasarkan pada sumber-sumber kekuatan yang dimilikinya, selain kekuatan (force) fisik, kekuatan materi (uang atau kekayaan), dan kekuatan intelektual, juga kekuatan (power) moral yang didasarkan pada kesadaran hukum yang memiliki nilai-nilai transenden sebagai sumber daya atau sumber kekuatan berlakunya hukum baik secara tradisional menurut hukum alam maupun menurut hukum modern yang didasarkan pada perkembangan berlakunya hukum positif.  Dengan kata lain, kapasitas dan kapabelitas manusia merupakan nilai-nilai indikator yang dapat diukur sebagai sumber legalitas hukum dalam perkembangan hukum baik secara obyektif maupun secara subyektif. kekuasaan sering bersumber pada bentuk wewenang formal (formal authority) yang memberi wewenang atau kekuasaan kepada seseorang atau suatu fihak dalam suatu bidang tertentu dengan batas-batas yang ditentukan menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku yang mengatur pemberian wewenang tersebut dengan tujuan-tujuan yang represif dan memaksa.
Pada kenyataannya bentuk pelaksanaan wewenang kekuasaan yang berbentuk formal tersebut di atas acapkali memerlukan sumber kekuatan non-formal berdasarkan kaidah sosial yang juga mengenal bentuk-bentuk paksaan, sebagai suatu kekuatan yang sangat mendasar diwujudkan melalui sikap dan tingkah laku seorang penguasa sehari-harinya berupa kejujuran, moral yang tinggi, dan pengetahuan sering lebih berkuasa dari kekuasaan yang dimiliki dalam bentuk kekuatan material sebagai kekuatan ekonomi (uang/kekayaan) atau pun kekuatan militer (senjata) sebagai kekuatan fisik ataupun kekuatan moral spiritual (agama) seperti yang dimiliki oleh seorang ulama yang diikuti oleh umatnya. Jika keduanya secara konvensional diterima dan didukung, maka kekuatan atau kekuasaan yang demikian disebut wibawa. ia tidak banyak memerlukan paksaan (kekuatan) dalam penggunaan politik kekuasaannya, karena kekuatan itu sendiri diperoleh dari dukungan yang dikuasainya dalam segala bentuk konfigurasi kekuasaan politiknya.
Sumber kekuasaan itu menurut Plato bukan berasal dari pangkat, kedudukan, atau jabatan melainkan dari pengetahuan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, kekuasaan itu kemampuan untuk menetapkan sesuatu sehingga orang lain mentaati apa yang ditetapkan itu. kekuasaan dalam bahasa Yunani yaitu "peithein" yang berarti persuasi yang sering digunakan untuk menangani urusan dalam negeri dan "bia" yang berarti paksaan atau kekerasan yang sering digunakan untuk menangani urusan luar negeri.
Menurut Plato, kekuasaan adalah kesanggupan untuk meyakinkan (persuasi) orang lain agar orang yang telah diyakinkan itu melakukan apa yang telah diyakininya sesuai dengan kehendak orang yang melakukan persuasi itu. Kekuasaan di sini diartikan sebagai kemampuan atau kekuatan memaksakan kehendaknya terhadap pihak lain untuk menghormati dan menaatinya.

Bertrand Russel :“Power tend to corrupt”
Kekuatan politik harus meliputi penyatuan beberapa kelompok/ keluarga sebagai anggota masyarakat. Sedangkan kekuatan perorangan tidak dapat disatukan tanpa gabungan kehendak mereka seluruhnya, dan gabungan kehendak itu adalah apa yang kita sebut sebagai negara sipil.
Kekuasaan negara yang menjelma dalam pemerintah sebagai lembaga politik selalu diselenggarakan oleh manusia sebagai kekuatan perorangan yang dipersatukan.
Selanjutnya dikatakan bahwa tidak ada satu masyarakat pun yang dapat terus bertahan hidup tanpa suatu bentuk pemerintahan.
Pemerintah yang paling sesuai adalah pemerintah yang paling cocok dengan keadaan pikiran, suasana hati dan watak, dan kecenderungan rakyat untuk siapa pemerintahan itu didirikan
URGENSI ETIKA
Sejak zaman Aristoteles, urgensi etika mendapat tempat dalam pembahasan utama, terbukti dalam tulisannya tentang “Ethika Nicomachela”. Beliau berpendapat tentang tata pergaulan dan penghargaan seorang manusia, yang tidak didasarkan pada egoisme atau kepentingan individu, akan tetapi didasarkan pada hal-hal yang altruistik, yaitu memperhatikan orang lain. (Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1994).
Pandangan Aristoteles jelas bahwa urgensi etika berkaitan dengan kepedulian dan tuntutan memerhatikan kehidupan orang lain. Dengan berpegang pada etika, manusia tidak terseret pada pola hidup yang mementingkan kepentinganpribadinya, ego-ego dan ambisi-ambisinya, tetapi dapat hidup sebagai “zoon politicon”. Dengan beretika, kehidupan manusia menjadi bermakna, jauh dari keinginan untuk melakukan perusakan dan kekacauan-kekacauan.  (Abdul Wahid dan Moh. Muhibbin, Etika Profesi Hukum, Rekonstruksi Citra Peradilan di Indonesia)
Napoleon Bonaparte mengingatkan bahwa di tengah masyarakat yang serba kacau, hanya kaum bajinganlah yang bisa memperoleh keuntungan besar.  Menurut Paul Scholten: moral (etika) itu pengaturan perbuatan manusia sebagai manusia, ditinjau dari segi baik buruknya, dipandang dari hubungannya dengan tujuan akhir hidup manusia berdasrkan hukum kodrati. (Bambang S., makalah  dalam Seminar Regional “Etika Hidup berbangsa, Sesulit mencari Jarum dalam Lautan”, Malang, 12 Mei 2006, hal. 2).
 HUBUNGAN ANTARA ETIKA DAN HUKUM
      Pendapat Scholten di atas menunjukkan bahwa titik temu antara etika dan hukum terletak pada muatan substansinya yang mengatur tentang perilaku manusia. Apa yang dilakukan manusia selalu mendapat koreksi dari ketentuan hukum dan etika yang menentukannya. Ada keharusan, perintah dan larangan, serta sanksinya.
      Von Savigny dalam madzhab sejarah secara tidak langsung menunjukkan keterkaitan antara hukum dengan etika. Beliau mengatakan, bahwa hukum itu harus dipandang sebagai suatu penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa. Selalu ada suatu hubungan yang erat antara hukum dengan kepribadian suatu bangsa. Apa yang dinilai dan dijadikan ideologi sauatu bangsa sebagai pandangan, tata aturan atau kaidah-kaidah kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka hal itu dapat disebut sebagai bagian dari “jiwa bangsa”.
DESKRIPSI ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI

ETIKA adalah pola pikir dan sikap perilaku yang dinyatakan secara tegas mana yang baik dan benar, mana yang benar dan salah, mana yang kontribusi dan korupsi, mana yang sopan dan tidak sopan, mana yang patut dan tidak patut.

ETIKA adalah bersumber dari nilai-nilai ajaran agama yang bersifat universal, dan nilai-nilai yang tercermin dari kepribadian dan budaya bangsa yang tercakup di dalam Pancasila.

Menurut Imam Gozali ETIKA adalah dorongan yang bersifat psychologi dari dalam yang muncul secara spontan tanpa pemikiran lagi.
1.    Profesi adalah suatu vokasi atau suatu pekerjaan tetap yang dilakukan dengan menerapkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan dihayatainya sebagai suatu panggilan hidup yang terikat baik pada etika yang umum maupun pada etika yang khusus (etika profesi).
2.    Seorang profesional (pengemban profesi) yang melakukan suatu pekerjaannya merupakan suatu panggilan hidup yang akan memperlihatkan semangat dan keberanian mengabdi kepada kepentingan masyarakat dan sesamanya, akan memancarkan keahlian, tanggung jawab dan kesejawatannya.
3.    Panggilan hidup seseorang pada hakekatnya adalah etika pemenuhan kebutuhan hidupnya sebagai individu maupun sebagai anggota mayarakat untuk meningkatkan taraf hidup/martabatnya dan lingkungan masyarkaatnya.
4.    Oleh karena itu, hidup setiap manusia selalu menyangkut hubungan antara kebutuhan dirinya dengan kebutuhan manusia lainnya sebagai bagian integral dari nilai-nilai yang melekat atas kehadiran dirinya yang mempengaruhi pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya. Sehingga nilai-nilai itu berlaku terhadap dirinya dan menuntut dirinya untuk menghormati nilai-nilai tersebut dan nilai lain yang melekat pada setiap hak yang dapat memenuhi kebutuhannya.
a.      Setiap individu yang menginginkan suatu keahlian memerlukan perubahan untuk menuju suatu kemampuan tertentu dan sudah tentu perubahan tersebut tidak dapat sekaligus diperoleh, akan tetapi diperlukan suatu proses yang memakan waktu. Seperti halnya bahwa untuk menjadi manusia diperlukan pendidikan dan pengajaran. Oleh karenanya pendidikan dan pengajaran termasuk upaya memanusiakan manusia. Sehingga Kurikulum yang dibuat harus mencerminkan kemampuan dan kompetensi.
b.      Keahlian adalah suatu nilai yang melekat sebagai tanda/ciri manusia yang memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan jasmani sekaligus kebutuhan rohaninya. Nilai terebut tidak secara otomatis melekat pada dirinya, akan tetapi merupakan hasil belajar. Seperti lazimnya seorang sarjana merupakan hasil dari pendidikan tinggi yang memiliki prasyarat tertentu sebelum mengikuti pendidikan tinggi di perguruan tinggi tertentu.
Oleh karena itu, Kurikulum diarahkan sesuai dengan tujuan pendidikan tinggi untuk lebih meningkatkan kemampuan kompetensi (pendidikan) yang terdiri dari:
1)      penguasaan kompetensi: merupakan model pengembangan kurikulum yang menekankan pada pemahaman, kemampuan atau kompetensi mahasiswa dalam menyelesaikan beban studi yang ditetapkan dan kemampuan menguasai kemahiran pada bidang tertentu sesuai dengan minatnya yang berkaitan dengan pekerjaan yang ada di masyarakat
2)      penguasaan kemampuan memecahkan masalah sosial: diarahkan pada terciptanya masyarakat yang lebih baik, pengembangan kurikulumnya menekankan pada kemampuan memecahkan masalah-masalah penting dan mendesak yang ada di masyarakat
3)      pembentukan pribadi: menekankan pada pengembangan atau pembentukan aspek-aspek kepribadian secara utuh, baik pengetahuan, keterampilan, maupun nilai dan sikap. dalam pelaksanaannya para pengembang kurikulum iti banyak memberikan perhatian terhadap aspek-aspek  sosial-emosional.
TUJUAN PENDIDIKAN TINGGI HUKUM
Tujuan pendidikan tinggi hukum sebagaimana tercantum di dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa adalah untuk menghasilkan sarjana hukum yang memiliki kualifikasi sebagai berikut :
a.       menguasai dasar-dasar ilmiah dan ketrampilan dalam bidang keahlian tertentu sehingga mampu menemukan, memahami, menjelaskan, dan merumuskan cara penyelesaian masalah yang ada di dalam kawasan keahliannya;
b.      mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya sesuai dengan bidang keahliannya dalam kegiatan produktif dan pelayanan kepada masyarakat dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama;
c.       mampu bersikap dan berperilaku dalam membawakan diri berkarya di bidang keahliannya maupun dalam berkehidupan bersama di masyarakat;
d.      mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian yang merupakan keahliannya.
KEDUDUKAN DAN FUNGSI MK. ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI HUKUM
 ETIKA PROFESI dalam Struktur Kurikulum
MataKuliah Etika Profesi Hukum merupakan matakuliah perilaku berkarya (MPB) yaitu matakuliah yang termasuk kelompok bahan kajian dan pelajaran yang bertujuan untuk membentuk sikap dan perilaku yang diperlukan seseorang dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan dasar ilmu dan keterampilan yang dikuasai. Oleh karenanya matakuliah ini memiliki prasyarat kelulusan matakuliah maksimum sebanyak 100 sks.  Terutama matakuliah yang termasuk Kelompok matakuliah pengembangan kepribadian (MPK) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan, yaitu matakuliah Pendidikan Agama (2 sks) dan Pendidikan Pancasila (2 sks) serta Pendidikan Kewarganegaraan (2 sks). Matakuliah ini juga harus didukung oleh matakuliah Filsafat Hukum yang termasuk dalam Kelompok matakuliah berkehidupan bermasyarakat (MBB) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran yang diperlukan seseorang untuk dapat memahami kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.
a.       Berdasarkan SK Mendiknas No. 232/U/2000, Pasal 7
Kurikulum terdiri atas :
b.      Kurikulum Inti yang mencirikan kompetensi utama, dan;
c.       Kurikulum Institusional yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan tinggi, komplementer dengan Kurikulum Inti, disusun dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan lingkungan serta ciri khas perguruan tinggi yang bersangkutan.
d.      Kurikulum Inti merupakan penciri dari kompetensi utama, ditetapkan oleh kalangan perguruan tinggi bersama masyarakat profesi dan pengguna lulusan (SK Mendiknas No.045/U/2002).
e.      Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu (SK Mendiknas No. 045/U/2002, Pasal 21)
f.        Pada SK Mendiknas No.045/U/2002, pengelompokkan mata kuliah tersebut diluruskan pemahamannya agar lebih luas dan positif melalui pengelompokkan berdasarkan elemen kompetensinya, yaitu:
1)      landasan kepribadian,
2)      penguasaan ilmu dan keterampilan,
3)      kemampuan berkarya,
4)      sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai,
5)      pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.
a)      Kelompok matakuliah pengembangan kepribadian (MPK) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

b)      Kelompok matakuliah perilaku berkarya (MPB) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran yang bertujuan untuk membentuk sikap dan perilaku yang diperlukan seseorang dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan dasar ilmu dan ketrampilan yang dikuasai.

Senin, 20 April 2015

PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA

PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA KE ARAH BERSIFAT HUKUM PUBLIK
   a.   Hukum pidana ketika bersifat hukum perdata
       Hukum Pidana yang bersifat hukum public yang kita kenal sekarang ,telah berubah melalui suatu        perkembangan yang lama dan lamban.
    Dalam pra sejarah perkembangan hukum pidana , sutau tindakan/perbuatan hanya di pandang     sebagai suatu tindakan merusak atau merugikan kepentinagn orang lain, yang kemudian disusuli   dengan pembalasan,yang merupakan kewajiban dari seseorang yang dirugikan atau meluas menjadi kewajiban seluruh keluarga contohnya budaya “carok” di Madura.
  b.    Perkembangan kea rah sifat hukum public
    Penguasa drai suatu masyarakat yang lebih maju pada mulanya berusaha menghukum orang orang yang mengancam kepentingan masyarakat dan menghambat tindakan tindakan pembalasan oleh orang yang di rugikan secara sendiri sendiri.
Dengan membayar ganti rugi atau denda kepada oaring yang dirugikan. Serta ditentukan dan dikendalikan oleh penguasa.
Penghukumannya berdasarkan pada kepentingan masyarakat dan kewajiban penguasa.
HUKUM PIDANA DI NEGARA – NEGARA BARAT

  1.  Socrates, aristoteles (Yunani) dan Cicero (Romawi) mencari bentuk hukum yang lebih sempurna dari hukum positif yaitu hukum alam yang dianggap lebih sempurana ,abadi dan tidak berubah karena tempat dan waktu.
  2.  Cicero yakni “Ubi societas ,ibi ius “ yang member gambaran hubungan hukum dengan masyarakat, tiada masyarakat tanpa hukum dan tiada hukum tanpa masyarakat dan untuk mengatur kehiduapan mereka.
PENGARUH HUKUM KEBIASAAN (COSTUMEN) DALAM KEMUNCULAN KODIFIKASI
 Hukum kebiasaan menurut fillips wielant ahli hukum dari abad XVI,kebiasan sebagai sumber hukum didefinisikan sebagai hukum tidak tertulis yang terdiri dari ketentuan sehari –haridan perbuatan yang terus menerus dilakukan oleh oaring –orang serta diwujudkan secara nyata tanpa paksaan masyarakat atau bangsa,selama kebisaan ini diikuti secara berkesinambunga.
KARATERISTIK HUKUM KEBIASAAN
   a.   Hukum tak tertulis : hukum kebisaan mempunyai kelemahan-kelemahan ,karena tidak tertulis       sehingga tidak menjamin kepastian hukum.kodofikasi pertama kali (code Penal dan code civil)
   b.    Kebiasaan yang dibentuk berdasarkan kelaziman dan tindakan yang berulang – ulang, semua kebiasaan dalah kelaziman,namun tidak semua kelaziman adalah kebiasaan. Dan Nampak pada kekuatan mengikat pada masyarakat seperti sopan santun.
   c.    Merupakan hal yang lazim dilakukan dimuka umum.
   d.   Disetujui oleh sebagian besar masyarakat .
   e.   Kebiasaan tersebut dilakukan dalam jangka waktu periode tertentu yang cukup lama
   f.     Kebiasaan tersebut harus rasional; maka suatu kebiasaan adalah rasional bila ia sesuai dan diterima semua pihak.
   g.    Dalam hukum kebiasaan ada untung rugi.
RESEPSI HUKUM ROMAWI KEDALAM EROPA BARAT DISEBABKAN :
   Mulai abad pertengahan banyak para amhasisawa yang belajar di berbagai universitas di itali dan perancis dan diterapakan dinegaranya masing masing
  Adanya kepercayaan pada hukum alam yang asasi ,yang dianggap sebagai suatu hukum yang sempurna dan berlaku bagi setiap waktu dan tempat dan menerima hukum ala mini.
PERANCIS MELAKUKAN RESEPSI HUKUM ROMAWI
   Karena perancis pernah ditaklukan oleh Caesar 50 tahun sebelum masehi.
  Kemudian abad ke 5  sesudah masehi mulailah perubahan  denga adanya bangsa westgota yang   menduduki Gallia,\.
  Dan memperluas daerah taklukannya di bawah raja eurich.

Analisa  hukum terhadap pasal RUU KUHP 293 dan psal 485
    a.      Pasal 293 RUU KUHP tentang Santet
     Usulan revisi KUHP yang memasukkan santet ke dalam kategori tindak kejahatan yang dapat dipidana telah memicu polemik dalam masyarakat. Undang-undang yang mengatur suatu hal berdimensi su­pernatural seperti santet memang selalu kontroversial. Dalam kajian antropologi, san­tet merupakan gejala sosial budaya yang sangat kompleks karena terkait cosmological belief masya­rakat, baik primitif maupun mo­dern. Kompleksitas makin tinggi bila santet dikaitkan dengan upaya pengaturan dalam undang-un­dang karena harus mendudukkan secara jelas dua hal: budaya dan tindak kejahatan (culture and criminal offense). Kejahatan terkait santet {wit­chcraft-related crime) harus dipahami dalam tiga kategori perbuatan.
Pertama, perbuatan santet, terhadap orang lain yang menyebabkan luka, derita, nasib buruk, sakit, bahkan kematian.
Kedua, syak wasangka/tuduhan terhadap seseorang sebagai dukun santet disebut witchcrqft accusations sebagai pelaku san­tet, acapkali memicu kemarahan massa yang berujung anarki.
Ketiga. tindakan main hakim sendiri oleh kerumunan orang (taking the law into people’s hands) terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun santet yang sering berakibat kematian. Di sinilah letak komplikasi masalah santet sebagai tindak ke­jahatan berkonsekuensi hukum. Karena itu, apabila kejahatan santet hendak diatur di dalam KUHP, harus didefinisikan lebih dulu jenis-jenis perbuatan yang dapat dipidana dan dipilah per­buatan mana yang dapat disebut tindak kejahatan.
Para ahli antropologi menyebut santet sebagai penjelmaan psychic phenomenon sehingga ti­dak ada fakta keras (hard facts) yang dapat menjadi bukti konkret untuk mendukung sangkaan atas suatu tindak kejahatan san­tet. Untuk menguatkan tuduhan bahwa seseorang telah menyantet orang lain pun biasanya hanya merujuk pada circumstantial evi­dence bukan empirical eviden­ce yang tecermin pada sikap iri, dengki, cemburu, marah, dendam, atau permusuhan satu orang dengan orang lain. Ketiadaan bukti fisik membuat hukum positif tidak bisa menjangkau tin­dak kejahatan santet atau menerima sebagai suatu realitas sosial.
     b.      Pasal 485 RUU KUHP tentang kumpul kebo
   Terkait kumpul kebo, itu merupakan semangat positif untuk meminimalisir adanya pemyalahgunaan seks atau perzinahan. Tetapi memang perlu dikonstruksikan dengan baik redaksinya sehingga tidak memunculkan multitafsir, disalahgunakan untuk menfitnah orang lain. Semangat RUU KUHP sesuatu yang perlu diapresiasi karena bagaimana pun, di budaya apa pun, adat apa pun di Indo­nesia ini, apalagi bicara norma agama semua sepakat tidak mengakui kumpul ke­bo, hubungan di luar pernikahan tidak dibenarkan. Dan masyarakat kita melihat itu bentuk kesalahan dan perbuatan terlarang dan itu harus diangkat menjadi norma hukum positif.
Oleh karena itu yang dilarang ini dalam kumpul kebo adalah orang yang berhubungan suami istri atau layaknya suami istri diluar ikatan pernikahan. Nikah siri itu ikatan pernikahan namun memang perlu mengkonstruksikan kalimatnva nanti di UU KUHP jangan sampai disa­lahgunakan untuk memfitnah orang lain tapi sebenaranya semangatnya sangat positif sekali.
Apabila kalau kita membahas pasal ini bisa dijelaskan sebagai berikut:
1. Setiap orang, artinya setiap makhluk hidup yang bukan binatang dan bukan tumbuhan, bisa laki laki atau perempuan, tanpa disebutkan batasan umurnya, berarti bisa juga ABG atau bahkan anak – anak, bisa juga kakek nenek.
2. Melakukan hidup bersama sebagai suami istri, apakah yang dimaksud “hidup bersama sebagai suami istri” ? apakah satu rumah tidur bareng, atau dalam kamar hotel, kos kosan, siapa yang bisa mendefinisikan hidup bersama ?
3. Diluar Perkawinan yang Sah, dalam definisi UU perkawinan disebutkan perkawinan yang sah adalah apabila dicatatkan melalui lembaga resmi yaitu KUA atau Catatan Sipil, Perlu dipertegas, nikah siri itu syah sesuai dengan UU No 1 tahun 1974 tentang Pemikahan. Syarat syahnya pernikahan itu sesuai dengan keyakinan dan ajaran agama masing-masing. Walaupun ada komplikasinya di pasal 3 UU itu, harus tercatat di catatan negara. Jadi, kalau syahnya, nikah siri syah maka tercatat itu hanya tambahan sebagai persyaratan administratif. Oleh karena itu yang dilarang ini dalam kumpul kebo adalah orang yang berhubungan suami istri atau layaknya suami istri diluar ikatan pernikahan. Nikah siri itu ikatan pernikahan namun memang perlu mengkonstruksikan kalimatnva nanti di UU KUHP jangan sampai disa­lahgunakan untuk memfitnah orang lain tapi sebenaranya semangatnya sangat positif sekali.
Kesimpulan : Dengan adanya RUU KUHP mengenai pasal 293 ( santet ) dan pasal 485 ( kumpul kebo )  maka menimbulkan multi tafsir dan belum adanya definisi yang  jelas terhadap kedua pasal tersebut sehingga dalam proses penyidikan akan mengalami kesulitan dalam pembuktian sehingga akan mempengaruhi tindakan dan kewenangan penyidik untuk melakukan penegakan hukum. Apabila pihak kepolisian melakukan penegakan hukum  tentu akan menimbulkan kontra produktif dengan budaya masyarakat di Indonesia yang masih banyak memiliki kepercayaan terhadap ilmu gaib serta kumpul kebo yang dibeberapa daerah di Indonesia diakui oleh masyarakatnya.  Perlunya juga untuk mengawasi tindakan aparat kepolisian yang nantinya akan memanfaatkan pasal pasal tersebut untuk melakukan penyalahgunaan kewenangan yang dimilikinya.
Pidana Pengawasan
Pasal 77
            Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
            penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan.
Pasal 78
1.      Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya.
2.      Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
3.      Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan
            syarat-syarat:
a.       terpidana tidak akan melakukan tindak pidana;
b.      terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/ atau
c.       terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
4.       Pengawasan dilakukan oleh balai pemasyarakatan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
5.       Jika selama dalam pengawasan terpidana melanggar hukum maka balai pemasyarakatan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pengawasan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pengawasan yang belum dijalani.
6.       Jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik maka balai pemasyarakatan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpendek masa pengawasannya.
7.       Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan setelah mendengar para pihak.
Pasal 79
1.      Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara maka pidana pengawasan tetapdilaksanakan.
2.      Jika terpidana dijatuhi pidana penjara maka pidana pengawasan ditunda dan dilaksanakan kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.
Paragraf 10
Pidana Kerja Sosial
Pasal 86
1.      Jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari pidana denda Kategori I maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial.
2.      Dalam penjatuhan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a.       pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan;
b.      usia layak kerja terdakwa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.       persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial;
d.      riwayat sosial terdakwa;
e.       perlindungan keselamatan kerja terdakwa;
f.       keyakinan agama dan politik terdakwa; dan
g.      kemampuan terdakwa membayar pidana denda.
3.      Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan.
4.      Pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama:
a.       dua ratus empat puluh jam bagi terdakwa yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas; dan
b.      seratus dua puluh jam bagi terdakwa yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
5.      Pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling singkat 7 (tujuh) jam.
6.      Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan/atau kegiatan lain yang bermanfaat.
7.      Jika terpidana tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah maka terpidana diperintahkan:
a.       mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut;
b.      menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; atau

c.       membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dibayar.