Penerapan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Indonesia
Penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup pada UU No 32 Tahun
2009 melengkapi dari undang-undang sebelumnya,sebagaimana yang tercantum pada
Bab XIII UU No 32 Tahun 2009 dikatakan bahwa Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan (pasal 84 ayat
1).Pada bagian kedua tentang penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup diluar
pengadilan,dikatakan pada pasal 85 (1) bahwa Penyelesaian sengketa lingkungan
hidup diluar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai :
- Bentuk dan besarnya ganti rugi;
- Tindakan pemulihan akibat
pencemaran dan/atau peruskan;
- Tindakan tertentu untuk
menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
- Tindakan untuk mencegah
timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Bentuk-bentuk penyelesaian lingkungan hidup diluar
pengadilan ini menganut konsep Alternative Dispute Resolution (ADR),yang
dilakukan dalam wujud mediasi ataupun arbritasi.Dan pada bagian inilah peran
Polri dapat masuk dan ikut serta menjadi seorang mediator dalam pelaksanaan
mediasi.Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa ini memang memperkenankan untuk
hadirnya orang ketiga sebagai penengah dan bukan penentu kebijakan.
Sedangkan
penyelesaian sengketa melalui peradilan diatur pada bagian ketiga UU No 32
Tahun 2009 dan terdiri dari :
- Ganti Kerugian dan Pemulihan
Lingkungan
- Tanggung Jawab Mutlak
- Hak Gugat Pemerintah dan
Pemerintah
- Hak Gugat Masyarakat
- Hak gugat Organisasi Lingkungan
Hidup
- Gugatan Administratif
Akan tetapi dibalik ini semua,UU No 32 Tahun 2009 mengenal
apa yang dinamakan asas Ultimum Remedium,yakni mewajibkan penerapan penegakan
hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penegakan hukum administrasi
dianggap tidak berhasil.Yang mana penerapan asas ini,hanya berlaku bagi tindak
pidana formil tertentu,yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air
limbah,emisi,dan gangguan.
Jika dilihat dari penerapan hukum secara perdata,Hak gugat
pemerintah dan pemerintah daerah,hak gugat masyarakat dan hak gugat organisasi
lingkungan hidup merupakan bentuk-bentuk pengamalan konsep axio popularis,class
action dan legal standing.Konsep-konsep ini merupakan terobosan hukum yang
sangat baik dalam penerapannya.Penerapan hukum perdata ini juga diikuti engan
berbagai persyaratan seperti pelaksanaan hak gugat oleh pemerintah bisa
dilakukan oleh Kejaksaan,pelaksanaan clas action yang dapat dilakukan oleh
orang atau sekelompok orang dan pelaksanaan hak gugat oleh organisasi
Lingkungan yang harus memenuhi persyaratan organisasi sesuai dengan apa yang diatur
dalam UU No 32 Tahun 2009 ini.
Ancaman hukuman yang ditawarkan oleh UU No 32 Tahun 2009 ini
juga cukup komprehensif,misalkan mengenai pasal-pasal yang mengatur tentang
ketentuan pidana dan perdata yang mengancam setiap pelanggaran peraturan
dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,baik
perseorangan,korporasi,maupun pejabat.Contoh yang paling konkret adalah porsi
yang diberikan pada masalah AMDAL.Sekurangnya terdapat 23 pasal yang mengatur
mengenai AMDAL,tetapi pengertian dari AMDAL itu sendiri berbeda antara UU No
32/2009 dengan UU No 23/1997,yakni hilangnya ”dampak besar”.Hal-hal baru
mengenai AMDAL yang termuat pada undang-undang terbaru ini antara lain:
- AMDAL dan UKL/UPL merupakan
salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup;
- Penyusunan dokumen AMDAL wajib
memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL;
- Komisi penilai AMDAL
pusat,Provinsi,maupun Kab/Kota wajib memiliki lisensi AMDAL;
- AMDAL dan UKL/UPL merupakan
persyaratan untuk penertiban izin lingkungan;
- Izin lingkungan diterbitkan
oleh Menteri,Gubenur,Bupati/Walokota sesuai kewenangannya.
Selain
hal-hal yang disebutkan diatas,ada pengaturan yang tegas dan tercantum dalam UU
No 32 Tahun 2009 ini ,yaitu dikenakannya sanksi pidana dan sanksi perdata
terkait pelanggaran bidang AMDAL.Hal-hal yang terkait dengan sanksi tersebut
berupa :
- Sanksi terhadap orang yang
melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan;
- Sanksi terhadap orang yang
menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat kompetensi;
- Sanksi terhadap pejabat yang
memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi dengan dokumen AMDAL atau
UPL/UKL
Proses Penegakan Hukum Lingkungan melalui
Prosedur Perdata
Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan
tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif
terhadap lingkungan hidup. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan, dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki
kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil
keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.
Pemerintah
dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan
penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.
A. Ganti Rugi
Setiap
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu.
Selain
pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu, hakim dapat menetapkan pembayaran
uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu
tersebut.
B. Tanggung Jawab Mutlak
Penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak
besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya
dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun,
bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan
kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti
rugi jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup disebabkan oleh:
- adanya bencana alam atau
peperangan; atau
- adanya keadaan terpaksa di luar
kemampuan manusia; atau
- adanya tindakan pihak ketiga
yang menyebabkan terjadinya
- pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup
Dalam
hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga, pihak ketiga
bertanggung jawab membayar ganti rugi.
C. Daluwarsa untuk Pengajuan Gugatan
Tenggang
daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu
sebagaimana diatur dalam ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku, dan
dihitung sejak saat korban mengetahui adanya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.
Ketentuan
mengenai tenggang daluwarsa tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah bahan
berbahaya dan beracun
D. Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup untuk Mengajukan Gugatan
Masyarakat
berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke
penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan
perikehidupan masyarakat.
Jika diketahui bahwa masyarakat
menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat
bertindak untuk kepentingan masyarakat.
Dalam
rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan
pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Hak
mengajukan gugatan tersebut terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan
tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan apabila
memenuhi persyaratan:
- berbentuk badan hukum atau
yayasan;
- dalam anggaran dasar organisasi
lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian
fungsi lingkungan hidup;
- telah melaksanakan kegiatan
sesuai dengan anggaran dasarnya.
Tata
cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat,
dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang
berlaku
Proses
Penegakan Hukum Lingkungan melalui Prosedur Pidana
1. Penyidikan
Selain
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup, diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara
Pidana yang berlaku.
Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tersebut berwenang:
- melakukan pemeriksaan atas
kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
lingkungan hidup;
- melakukan pemeriksaan terhadap
orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
lingkungan hidup;
- meminta keterangan dan bahan
bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak
pidana di bidang lingkungan hidup;
- melakukan pemeriksaan atas
pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
bidang lingkungan hidup;
- melakukan pemeriksaan di tempat
tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen
lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran
yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang
lingkungan hidup;
- meminta bantuan ahli dalam
rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan
hidup.
2.Pembuktian
Alat bukti yang sah dalam tuntutan
tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas :
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa; dan /atau
f. alat bukti lain, termasuk alat bukti
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tersebut memberitahukan dimulainya penyidikan dan
hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tersebut menyampaikan hasil penyidikan
kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Penyidikan tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan Zona
Ekonomi Eksklusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Proses
Penegakan Hukum Lingkungan melalui Prosedur Administrasi
Selain
ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
dan UU nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terhadap
pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib
berupa:
- perampasan keuntungan yang
diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
- penutupan seluruhnya atau
sebagian perusahaan; dan/atau
- perbaikan akibat tindak pidana;
dan/atau
- mewajibkan mengerjakan apa yang
dilalaikan tanpa hak; dan/atau
- meniadakan apa yang dilalaikan
tanpa hak; dan/atau
- menempatkan perusahaan di bawah
pengampuan paling lama tiga tahun.
Tindak pidana yang
diperkenalkan dalam UUPPLH juga dibagi dalam delik formil dan delik materil.
Menurut Sukanda Husin (2009: 122) delik materil dan delik formil dapat
didefensikan sebagai berikut:
1. Dellik
materil (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum
yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang tidak
perlu memerlukan pembuktian pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi
seperti izin.
2. Delik formil (specific
crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum terhadap aturan-aturan
hukum administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya delik formil tidak
diperlukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil,
tetapi cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi.
Pendekatan hukum lingkungan dari sudut
pidana ini ditentukan padanestapa atau sanksi pidana yang yang dijatuhkan oleh
negara kepada warganegara yang menjadi tersangka, dan yang diduga telah
melakukan tindak pidana pencemaran atau perusakan lingkungan hidup,
karena rumusan dalam ketentuan pasal-pasal pidana dalam Undang-Undang Nomor .32
Tahun 2009 mengakibatkan timbulnya kerusakan dan tercemarnya lingkungan hidup
secara keseluruhannya..Dengan demikian, unsur-unsur perbuatan pidana terhadap
lingkunganhidup dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.Barang
siapa yang secara nyata melawan hukum.
2.Karena sengaja atau karena
kealpaannya.
3.Ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
4.Perbuatan yang menyebabkan
tercemarnya lingkungan hidup.
5.Perbuatan yang menyebabkan
rusaknya lingkungan hidup.
6.Mengakibatkan orang mati atau luka berat
(membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain).
7.Diancam dengan pidana.Perbuatan pidana terhadap lingkungan
hidup dapat dijatuhkan pidana apabila syarat esensial yang berupa kesalahan,
dan kesalahan itu dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, sehingga merupakan
suatu perbuatan pidana. Di samping syarat esensial, unsur-unsur perbuatan
pidana juga harusterpenuhi, sehingga dapatlah dijatuhi pidana. Adapun
pertanggungjawabkan pidana dalam pasal-pasal tersebut dapat dikenakan
kepada siapa saja baik perorangan, masyarakat maupun badan hukum
yang telah memenuhi unsur perbuatan pidana tadi
Mengenai ketentuan Pidana yang terdapat dalam UU no
32 tahun 2009 telah diatur dalam Bab xv Pasal 97 – Pasal 118 UUPLH mengenai
sanksi dan denda dendanya .