Moh. Mahfud MD, Politik Hukum merupakan
kebijaksanaan hukum (legal policy)
yang akan atau telah dilaksanakan pemerintah secara nasional. Hal ini mencakup
pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat
konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pemuatan dan penegakan
hukum. Hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal –
pasal yang bersifat imperatif atau
keharusan – keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus
dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak
mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal –
pasalnya maupun dalm implemntasiya dan penegakannya.
“hukum adalah produk politik” karena sebenarnya lahirnya sebuah UU berasal dari
lembaga politik (DPR) dimana pasal-pasal yang tertuang di dalamnya merupakan
kompromi atau kesepakatan-kesepakan diantara kekuatan- kekuatan politik parpol
yang mempunyai kursi di parlemen.
Konfigurasi
politik menjadi dua kutub yang berbeda yaitu:
Konfigurasi
politik demokratis yang
diartikan sebagai susunan sistem politik yang membuka kesempatan (peluang) bagi
partisipasi masyarakat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan
umum.
Pada
konfigurasi politik demokratis, karakter
produk hukumnya adalah responsif/populistik yang diartikan sebagai produk hukum
yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam
proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh
kelompok-kelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap
tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat.
Konfigurasi politik otoriter diartikan sebagai susunan sistem politik yang lebih
memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh
inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara.
Konfigurasi politik otoriter akan
melahirkan produk hukum konservatif/ortodoks/elitis yaitu produk hukum yang
isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan
keinginan pemerintah, bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat
pelaksana ideologi dan program negara. Berlawanan dengan hukum responsif, hukum
ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun
individu-individu di dalam masyarakat. Dalam
pembuatannya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.
Periode
demokrasi liberal adalah adanya perubahan sistem
ketatanegaraan yang tidak melalui amandemen terhadap UUD. Perubahan dimaksud
adalah beralih fungsinya KNIP yang semula sebagai pembantu Presiden,
dikarenakan desakan beberapa pihak yang menuntut segera dibentuknya MPR dimana
sebelum MPR terbentuk agar KNIP diberikan fungsi dan kewenangan yang sama
dengan MPR. Oleh karena itu berdasarkan Maklumat Presiden No. X tahun 1945
fungsi legislatif dialihkan kepada KNIP dan dibentuk BP-KNIP.
Pada periode ini lahir Maklumat
Pemerintah 3 November 1945 yang pada pokonya berisi harapan pemerintah agar
aliran-aliran dalam masyarakat segera membentuk parpolnya sebelum dilangsungkan
pemilu pada bulan Januari 1946. Maklumat inilah yang menjadi dasar sistem banyak partai
atau pluralisme. Tidak ada yang membantah bahwa pada masa ini Indonesia
benar-benar menerapkan konfigurasi politik yang sangat demokratis karena selain
partai politik diberikan kebebasan untuk berkembang, kebebasan pers pun
memperoleh pengakuan dari pemerintah. Saking demokratisnya pada era ini kekuatan
eksekutif begitu lemah sehingga menyebabkan jatuh bangunnya kabinet dan terjadi
instabilitas politik. Orang banyak menyebut kondisi ini sebagai demokrasi yang
liberal.
Pada masa demokrasi liberal ini lahir UU No. 7 tahun 1953
tentang Pemilu. UU ini dapat diidentifikasi sebagai UU yang sangat responsif.
UU tersebut dapat mengatur secara sangat rinci sistem pemilu (electoral laws)
dan pokok-pokok proses pemilunya (electoral processes), sehingga tidak memberi
ruang yang terlalu luas kepada eksekutif untuk menafsirkan sendiri dengan
peraturan perundang-undangan delegatif.
Dibidang Pemerintahan Daerah,
pemerintah berhasil mengeluarkan UU No. 1 tahun 1945 yang masih sangat
sederhana karena hanya berisi 6 pasal. UU ini menganut dualisme pemerintahan di
daerah karena mendudukkan kepala daerah sebagai organ daerah otonom sekaligus
alat pusat di daerah. Atas kelemahan ini kemudian diadakan penyempurnaan dengan
menerbitkan UU No. 22 tahun 1948. Namun begitu UU inipun belum menghapus sifat
dualisme dari UU sebelumnya dan bahkan UU ini tidak dapat diberlakukan
diseluruh Indonesia karena pergulatan melawan penjajahan Belanda.
UU No. 1 tahun 1957 kemudian tampil
sebagai pengganti atas UU No. 22 tahun 1948 tersebut. UU ini sudah lebih
responsif dari dua UU sebelumnya yang mengatur hal yang sama. Watak responsif
atau populistik tersebut dari sudut materi dapat dilihat dari adanya muatan
tentang keleluasaan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri di bawah asas
otonomi yang seluas-luasnya, penekanan DPRD sebagai
pelaksana medebewind, serta mikanisme penentuan kepala daerah yang dipilih
langsung oleh rakyat meskipun sebelum adanya UU pemilihan, kepala daerah
dipilih oleh DPR. Menurut UU No 1 tahun 1957, kepala daerah bukan alat pusat
dan kedudukannya tidak tergantung pada pusat. Disini tampak bahwa unsur
sentralistik sangat diminimalkan.
Ada dua hal yang dilakukan oleh
pemerintah dalam hal keagrariaan yang sangat responsif yaitu mengeluarkan
peraturan perundang-undangan secara parsial dan menyiapkan rancangan UU
agrarian nasional yang baru. Dalam hal penyiapan
rancangan undang-undang agrarian tersebut Presiden membentuk sebuah panitia di
Yogyakarta melalui Penpres No. 16 tahun 1948 dan menghasilkan beberapa saran
kepada DPR diantaranya adalah penghapusan dualisme, pemberian tanah kepada
petani, pengembalian tanah perkebunan kepada negara, penghapusan perkebunan
swasta yang berstatus hak milik, pembebasan orang desa dari beban warisan
feodalisme, pengaturan pembelian hasil panen yang dapat melindungi petani kecil
dan koordinasi pengairan oleh negara. Ketika ibukota Indonesia berpindah
kembali ke Jakarta, pemerintah dengan Kepres No. 36 tahun 1951 melakukan
pembaharuan terhadap kepanitiaan agraria nasional ini dengan tetap diketuai
oleh ketua panitia yang sama dengan di Yogyakarta yaitu Sarimin Reksodihardjo.
Inilah conto corak/karakter tiga produk hukum yang ada pada masa demokrasi
liberal yang kesemuanya bersifat demokratis sesuai dengan konfigurasi
politiknya pada saat itu yang juga demokratis.
Pada periode kedua yaitu Demokrasi
terpimpin, berlandaskan pada adanya instabilitas
pemerintahan pada periode sebelumnya yaitu demokrasi liberal, akhirnya Presiden
mengeluarkan Dekrit Tanggal 5 Juli 1959 yang pada pokoknya membubarkan konstituante
yang dianggap gagal melaksanakan tugasnya “ membentuk UUD” dan memberlakukan
kembali UUD 1945 sebagai pengganti UUDS 1950. Inilah era baru yang dinamakan
demokrasi terpimpin oleh Soekarno.
Seiring dengan adanya Dekrit
Presiden tersebut kemudian politik liberal
demokratis yang diterapkan sebelumnya kemudian mengalami perubahan kearah
politik yang otoriter. Hal ini mengundang banyak kritikan dari berbagai
kalangan. Salah satunya datang dari Moeljarto Tjokrowinoto yang mengatakan
bahwa demokrasi terpimpin ternyata lebih menekankan pada aspek “terpimpin” nya
sehingga menjurus kepada disguised autocracy.
Tidak terselenggara pemilu pada
periode ini sehingga UU yang mengatur tentang Pemilu juga secara otomatis tidak
dilahirkan. UU pemerintahan daerahpun mengalami revisi yang sebelumnya diatur
dengan UU No. 1 tahun 1957 diganti dengan Penpres No. 6 tahun 1959 yang intinya
menggariskan kebijakan politik untuk mengembalikan dan memperkuat kedudukan
kepala daerah sebagai alat pemerintah pusat yang kemudian diganti lagi dengan
UU No. 18 tahun 1965 yang juga bersifat sentralistik.
Berbeda dengan dua corak karakter hukum
pemilu dan pemerintahan daerah di atas, produk hukum di bidang agraria yang
dihasilkan pada masa ini berhasil mengeluarkan UU No. 5 tahun 1960 yang
substansi isinya sangat aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Berakhirnya
masa demokrasi terpimpin kemudian digantikan dengan rezim Orde Baru. Belajar dari
pengalaman orde sebelumnya (orde lama), orde baru di bawah kepemimpinan
Presiden Soeharto menitik beratkan program pemerintahannya terhadap pembangunan
dan pemulihan ekonomi yang pada jaman orde lama kurang mendapat perhatian
sehingga sejarah mencatat inflasi ekonomi Indonesia pernah mencapai angka 600%.
Prioritas kebijakan yang menitik
tekankan pada pertumbuhan ekonomi ini menuntut adanya stabilitas politik,
pemerintahan dan kepemimpinan yang kuat. Jalan yang ditempuh untuk mensukseskan
obsesi Soeharto yang didukung penuh oleh kekuatan Angkatan Darat (AD) itu
kemudian mengambil cara membatasi pluralisme parpol yang dijaman Soekarno
dianggap menjadi penyebab terjadinya instabilitas politik.
Pada era ini pilar-pilar demokrasi
tidak bisa berjalan secara baik dan efektif. Parpol dan parlemen berada pada
posisi yang tidak berdaya bahkan hanya menjadi alat legitimatimasi bagi
kebijakan-kebijan pemerintah, eksekutif sangat powerful karena bisa mengontrol
semua kebijakan negara sesuai dengan apa yang dikehendakinya serta kebebasan
pers terpasung dan dikebiri dengan diberlakukannya Surat Ijin Usaha Penerbitan
Pers (SIUPP) dimana kebijakan ini terbukti sangat ampuh dijadikan sebagai
amunisi oleh pemerintah untuk membungkap kebebasan dan independensi pers. Jika
ada pers yang terlalu vokal mengkritik pemerintah dan dianggap mengganggu
proses pembangunan maka pers yang bersangkutan akan dibredel dengan cara
dicabut SIUPP nya.
Memang pada awal-awal pemerintahannya,
orde baru sempat menampilkan politik yang agak liberal demokratis dengan
memberikan ruang kepada pers dan parpol untuk melakukan koreksi atau kritik
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun kebijakan ini hanya untuk
sementara dan merupakan strategi awal pemerintah orde baru sampai ditetapkannya
format politik baru yang terbukti kemudian sangat Otoriter.
Konfigurasi politik otoriter yang
ditampilkan oleh kekuasaan orde baru kemudian paralel dengan produk hukum yang
dihasilkannya yaitu karakter hukum yang konservatif/ortodoks/elitis. UU pemilu
yang lahir pada masa orde baru ini adalah UU No. 15 tahun 1969 yang hanya
memuat 37 pasal. Sangat singkatnya pasal-pasal yang ada dalam UU ini membuat
pemerintah sesuai dengan keinginan politiknya bisa menginterpretasikan semaunya
sendiri ke dalam peraturan-peraturan yang lebih teknis. Di lain pihak UU ini
memungkin adanya pengangkatan sebagian dari anggota MPR dan DPR dari ABRI yang
tentu saja orang-orang yang diangkat oleh pemerintahpun adalah mereka yang mendukung
visi dan kebijakan eksekutif.
Khusus mengenai agraria hampir tidak
ada perubahan yang signifikan dalam periode ini disbandingkan dengan periode
sebelumnya. UUPA yang sudah ada sejak masa demokrasi terpimpin tetap
diberlakukan dan tidak diganti. Sehingga praktis dalam bidang keagrariaan
walaupun watak politik orde baru adalah otoriter namun pengaturannya
demokratis.
Periode 1945 – 1959 (Demokrasi Liberal)
Konfigurasi Politik : Demokratis
Kecenderungan Karakter Produk Hukum :
1.
Pemilu
: Responsif
2.
Pemda
: Responsif
3.
Agraria
: Responsif
Periode 1959 – 1966 (Demokrasi Terpimpin)
Konfigurasi Politik : Otoriter
Kecenderungan Karakter Produk Hukum :
1.
Pemilu
:
2.
Pemda
: Ortodoks / Konservatif / elitis
3.
Agraria
: Responsif (dengan alasan tertentu)
Periode 1966 – 1998 (orde baru)
Konfigurasi Politik : Otoriter
Kecenderungan Karakter Produk Hukum :
1. Pemilu : Ortodoks / Konservatif / elitis
2. Pemda : Ortodoks / Konservatif / elitis
3. Agraria : Ortodoks / Konservatif / elitis(parsial)
Periode 1998 – sampai sekarang (orde Reformasi)
Konfigurasi Politik : Demokratis
Kecenderungan Karakter Produk Hukum :
- Pemilu : Responsif
- Pemda : Respoonsif
- Agraria : Responsif
Konfigurasi politik yang demo-kratis tersebut antara
lain:
1.
Demokrasi
liberal ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan tindakan peme-rintah untuk
memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok-kelompok, dengan menyusun
pergantian pemimpin secara berkala, tertib dan damai, melalui alat-alat
perwakilan rakyat yang bekerja efektif.
2.
Memberikan
toleransi terhadap sikap ber-lawanan, menuntut keluwesan dan kese-diaan untuk
bereksperimen.
3.
Pencalonan
dan pemilihan anggota lem-baga-lembaga perwakilan politik berlang-sung fair.
4.
Lembaga-lembaga
itu mendapat kesem-patan yang luas untuk membahas persoal-an-persoalan,
mengkritik dan mengkris-talisasikan pendapat umum.
5.
Adanya
sikap menghargai hak-hak mino-ritas dan perorangan, lebih mengutama-kan diskusi
dibanding paksaan dalam me-nyelesaikan perselisihan, sikap menerima legitimasi
sistem pemerintahan yang berlaku dan penggunaan metode eksperi-men.
Jika
konfigurasi politik demokratis ma-ka akan melahirkan karakter hukum yang
res-ponsif. Konfigurasi partisipasi
rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijak-sanaan umum, partisipasi
ini dapat ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala yang di-dasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana terjadinya ke-bebasan politik.
Begitupun
jika konfigurasi politik otori-ter akan melahirkan karakter hukum yang
konservatif atau ortodoks. Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem
politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil
hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara. Konfi-gurasi ini
ditandai oleh dorongan elit kekua-saan untuk memaksakan persatuan, pengha-pusan
oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara
dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik.