Translate

Jumat, 21 Juni 2013

Hukum Acara Perdata 2

         Alat-Alat Bukti Perdata
(Ps. 284 RBG/164 HIR/1866 KUHPerdata)
Pasal 1865 KUHPerdata: Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Pasal 1866 KUHPerdata, alat-alat bukti terdiri atas:
  1. Bukti tulisan
  2. Bukti dengan saksi-saksi
  3. Persangkaan-persangkaan
  4. pengakuan
  5. Sumpah
         Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 51 Tahun 2009, Alat-alat Bukti:
  1. Surat atau tulisan
  2. Keterangan ahli
  3. Keterangan saksi
  4. Pengakuan para pihak
  5. Pengetahuan Hakim
         UU No. 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana
         Pasal 183
        Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
         Pasal 184 Alat-alat bukti yang sah ialah:
        Keterangan saksi
        Keterangan ahli
        Surat
        Petunjuk
        Keterangan terdakwa
         Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
         Pasal 1313
        Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
         Pasal 1320
        Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat:
1.      Sepakat mereka yang mengikat dirinya
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatu sebab yang halal
         Pasal 1321
        Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
         Alat-Alat Bukti Perdata
(Ps. 284 RBG/164 HIR/1866 KUHPerdata)
Pasal 1865 KUHPerdata: Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Pasal 1866 KUHPerdata, alat-alat bukti terdiri atas:
  1. Bukti tulisan
  2. Bukti dengan saksi-saksi
  3. Persangkaan-persangkaan
  4. pengakuan
  5. Sumpah
         Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 51 Tahun 2009, Alat-alat Bukti:
  1. Surat atau tulisan
  2. Keterangan ahli
  3. Keterangan saksi
  4. Pengakuan para pihak
  5. Pengetahuan Hakim
         UU No. 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana
         Pasal 183
        Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
         Pasal 184 Alat-alat bukti yang sah ialah:
        Keterangan saksi
        Keterangan ahli
        Surat
        Petunjuk
        Keterangan terdakwa
         Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
         Pasal 1313
        Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
         Pasal 1320
        Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat:
1.      Sepakat mereka yang mengikat dirinya
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatu sebab yang halal
         Pasal 1321
        Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
EKSEKUSI
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara.
EKSEKUSI DILAKSANAKAN DENGAN
  1. Bantuan alat-alat negara
  2. Penyitaan dan pelelangan
  3. Uang paksa
  4. gijzeling
JENIS EKSEKUSI
  1. Eksekusi yang menghukum pihak yang kalah untuk membayar sejumlah uang
  2. Eksekusi yang menghukum pihak yang kalah untuk melakukan suatu perbuatan.
  3. Eksekusi riil
Asas-asas Eksekusi
  1. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap;
  2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela;
  3. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnatoir;
  4. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri.
  5. pengecualian terhadap asas yang pertama
1.      pelaksanaan putusan lebih dulu (uitvoerbaar bij voorraad) ps. 180 ayat 1 HIR;
2.      pelaksanaan putusan provisi ;
3.      akta perdamaian (acte van dading) ps. 130 HIR;
4.      Eksekusi terhadap grosse akta,
  • selama persidangan berlangsung, kedua belah pihak yang berperkara dapat berdamai, baik atas anjuran hakim maupun atas inisiatif dan kehendak kedua belah pihak;
  • apabila tercapai perdamaian dalam persidangan maka :
  • selama persidangan berlangsung, kedua belah pihak yang berperkara dapat berdamai, baik atas anjuran hakim maupun atas inisiatif dan kehendak kedua belah pihak;
  • apabila tercapai perdamaian dalam persidangan maka :
      • hakim membuat akta perdamaian;
      • yang menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi akta perdamaian;
      • sifat akta perdamaian yang dibuat dipersidangan mempunyai kekuatan eksekusi  seperti putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
      • sifat akta perdamaian yang dibuat dipersidangan mempunyai kekuatan eksekusi  seperti putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Adapun ciri-ciri yang dapat dijadikan indikator menentukan suatu putusan bersifat kondemnator dalam amar/diktum putusan terdapat perintah yang menghukum pihak yang kalah, yang dirumuskan dalam kalimat :
  1. Menghukum atau memerintahkan “pengosongan” sebidang tanah atau rumah;
  2. Menghukum atau memerintahkan “melakukan” suatu perbuatan tertentu;
  3. Menghukum atau memerintahkan “penghentian” suatu perbuatan atau keadaan;
  4. Menghukum atau memerintahkan “menyerahkan suatu barang;
  5. Menghukum atau memerintahkan melakukan “pembayaran” sejumlah uang.
Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang dulu memeriksa dan memutus perkara dalam tingkat pertama
Menentukan PN mana yang berwenang menjalankan eksekusi putusan
Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus suatu perkara dalam tingkat pertama adalah PN yang berwenang untuk menjalankan eksekusi atas putusan yang bersangkutan, tanpa mengurangi hak dan wewenangnya untuk melimpahkan delegasi eksekusi kepada PN yang lain, apabila objek yang hendak dieksekusi terletak diluar daerah hukumnya (ps. 195 ayat 2 HIR atau ps 206 ayat 2 RBG).
Dengan mengaitkan pasal-pasal  dimaksud gambaran kontruksi hukum kewenangan menjalankan dengan singkat dapat diterangkan sbb :
  1. Ketua PN memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi;
  2. Kewenangan memerintahkan dan memimpin eksekusi yang ada pada Ketua PN adalah secara ex officio;
  3. Perintah eksekusi dikeluarkan oleh Ketua PN berbentuk  “surat penetapan” (beschikking);
  4. Yang diperintahkan menjalankan eksekusi ialah panitera atau juru sita PN.
Fungsi kewenangan ex officio Ketua PN memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi, bukan hanya terbatas atas pengeluaran surat penetapan yang memerintahkan eksekusi. Fungsi ex officio meliputi :
      Mulai dari tindakan executorial beslag;
      Pelaksanaan pelelangan, termasuk segala proses dan prosedur yang diisyaratkan tata cara pelelangan;
      Sampai kepada tindakan pengosongan dan penyerahan barang yang dilelang kepada pembeli lelang; atau
      Sampai pada penyerahan dan penguasaan pelaksanaan secara nyata barang yang dieksekusi pada eksekusi riil.


Kewenangan menjalankan eksekusi hanya diberikan kepada PN
Sesuai dengan apa yang ditentukan dalam ps. 195 ayat 1 HIR atau ps. 206 ayat 1 RBG menjalankan eksekusi terhadap putusan pengadilan mutlak hanya diberikan kepada instansi peradilan tingkat pertama, yakni PN
  1. Adapun ciri-ciri yang dapat dijadikan indikator menentukan suatu putusan bersifat kondemnator dalam amar/diktum putusan terdapat perintah yang menghukum pihak yang kalah, yang Menghukum atau memerintahkan “pengosongan” sebidang tanah atau rumah;
  2. Menghukum atau memerintahkan “melakukan” suatu perbuatan tertentu;
  3. Menghukum atau memerintahkan “penghentian” suatu perbuatan atau keadaan;
  4. Menghukum atau memerintahkan “menyerahkan suatu barang;
  5. Menghukum atau memerintahkan melakukan “pembayaran” sejumlah uang.
dirumuskan dalam kalimat :
Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
kewenangan itu secara formal berada ditangan Ketua PN, jadi Ketua PN diberi wewenang :
  • Memerintahkan eksekusi; dan
  • Memimpin jalannya eksekusi.
Kewenangan Ketua PN memerintahkan dan memimpin eksekusi merupakan kewenangan formal secara ex officio (ps. 197 ayat 1 HIR atau ps. 208 ayat 1 RBG).
Perbedaan eksekusi riil dan eksekusi pembayaran sejumlah uang
Eksekusi riil hanya mungkin terjadi berdasarkan putusan pengadilan :
  • yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap;
  • yang bersifat dijalankan lebih dulu;
  • yang berbentuk provisi;
  • yang berbentuk akta perdamaian di sidang pengadilan.

PEMBUKTIAN
Membuktikan Adalah memberikan dasar-dasar yang cukup pada hakim dalam pemeriksaan suatu perkara agar dapat memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Pasal 163 HIR menyatakan :
Barang siapa menyatakan mempunyai sesuatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain haruslah membuktikan adanya hak itu atau adanya perbuatan itu. (Asas Actori Incumbit Probatio)
Teori pembuktian
  1. Teori Hukum Subjektif
            “barang siapa yang mengaku atau mengemukakan sutau hak maka yang bersangkutan harus membuktikannya”.
  1. Teori Hukum  Objektif
            “seorang hakim harus melaksanakan peraturan hukum atas fakta-fakta untuk menemukan kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya”.
  1. Teori Hukum Acara dan Teori Kelayakan
            “Hakim seyogyanya berdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian”.
yang tidak perlu dibuktikan
Notoire feiten : peristiwa yang sudah diketahui oleh umum.
Pengakuan.
Processueele feiten : fakta/peristiwa yang ditemukan hakim di depan sidang.
Menurut Prof. wirjono alat bukti yang diatur dalam pasal 164 hir tidak semuanya merupakan alat bukti, misalnya :
Persangkaan : hanya merupakan kesimpulan yang ditarik oleh UU atau hakim dari hal-hal yang sudah jelas terhadap hal-hal yang belum jelas.
Sumpah : hanya merupakan pernyataan yang dikehendaki oleh para pihak, sedangkan kebenarannya tidak terjamin.
Alat bukti surat
Yang dimaksud dengan akta
Surat yang diberi tanda tangan, memuat peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak dibuat sejak semula dengan tujuan untuk dijadikan sebagai alat bukti.
Akta autentik (Ps. 165 HIR)
Suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan alat bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapatkan hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok daripada akta.
AKTA DIBAWAH TANGAN
Adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan pejabat. Mempunyai pembuktian yang sempurna seperti akta autentik kalau tanda tangan yang tercantum di situ diakui oleh si penandatangan, terhadap pihak ketiga merupakan bukti bebas.
Alat bukti saksi
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak yang berperkara, yang dipanggil dalam persidangan.
Pasal 145 hir
  1. Yang tidak dapat didengar sebagai saksi :
è Keluarga sedarah dan semenda
è Suami/istri dari salah satu pihak meskipun telah bercerai.
è Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka sudah berumur 15 tahun.
è Orang gila.
Pasal 146 ayat (1) yang boleh mengundurkan diri sebagai saksi :
  1. Saudara laki-laki dan saudara perempuan.
  2. Keluarga laki-laki dan perempuan
  3. Sekalian orang yang karena martabatnya, pekerjaannya atau jabatannya yang sah diwajibkan menyimpan rahasia.
Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi dengan sungguh-sungguh hakim harus memperhatikan :
  1. Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan saksi yang lain.
  2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lainnya.
  3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi un tuk memberi keterangan tertentu.
  4. Cara hidup kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu di percaya.
Alat bukti sumpah
  1. Sumpah Suppletoir/pelengkap (ps. 155 HIR, 182 Rbg, 1940 BW)
            Adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian permulaan dulu, tetapi yang belum mencukupi dan tidak ada alat bukti lainnya
  1. sumpah penaksiran/Aestimatoir (ps. 155 HIR, ps. 182 Rbg, 1940 BW)
            yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian
  1. sumpah Decisoir/pemutus (ps. 156 HIR, 183 Rbg, 1930 BW)
            Adalah sumpah yang dibebankan atas dimintakan sumpah menjadi pasti dan pihak lawan permintaan salah satu pihak kepada lawannya. Akibat mengucapkan sumpah decisoir ialah bahwa kebenaran peristiwa yang tidak boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu, tanpa mengurangi wewenang jaksa untuk menuntut berdasarkan sumpah palsu (ps. 242 KUHP),
Persangkaan (ps. 173 hir, 1915 – 1922 bw)
Yang dimaksud dengan persangkaan ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang sudah jelas ke arah peristiwa yang belum jelas.
Pasal 1915 BW menyebutkan : yang berwenang menarik kesimpulan adalah :
            1. Hakim
            2. UU :
a. Presumptions Juris Tatum, memungkinkan  adanya bukti     lawan. (Ps. 1921 ayat (2) BW misal Ps. 633, 658, 1394 BW
b. Presumptions Juris et de Jure, tidak memungkinkan adanya bukti lawan (Ps. 1921 ayat (1) BW, misal : 184,911, 1681, 1917, 1439 BW.
Pengakuan (Ps. 174 – 178 hir, Ps. 1923  - 1928 BW
Pengakuan yang dilakukan di depan sidang (Ps. 174 HIR, Ps. 1925 BW)
Pengakuan yang dilakukan di luar sidang (Ps. 175 HIR)
Pengakuan di bagi 3 macam :
Pengakuan murni, sesuai dengan dalil lawan.
Pengkuan dengan kualifikasi, disertai sangkalan terhadap sebagian dalil lawan.
Pengakuan dengan klausule, disertai keterangan tambahan yang sifatnya membebaskan.
Pemeriksaan setempat (sidang ditempat) ialah pemeriksaan mengenai perkara oleh karena jabatannya yang dilakukan diluar gedung atau tempat kedudukan pengadilan agar hakim dapat melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.
Film, Foto, VCD, E-mail, tele konfren. Dengan mengacu pada Pasal 179 Rv yang menyatakan semua alat dapat dijadikan sebagai bukti kecuali UU menentukan lain, penilaian alat bukti tersebut sejauh UU tidak menentukan lain diserahkan kepada pertimbangan hakim.
n  Objek perkara harus jelas
n  Putusan MA RI No. 565 k/Sip/1973, tgl. 21 Agustus 1974, “Kalau objek gugatan tidak jelas, maka gugatan tidak dapat diterima”.
n  Putusan MA RI No. 1149 k/Sip/1979, tgl. 17 April 1979, “Bila tidak jelas batas-batas tanah sengketa, maka gugatan tidak dapat diterima”.
n  Hubungan posita dan petitum
n  Putusan MARI No. 67 k/Sip/1975, tgl. 13 Mei 1975, Petitum tidak sesuai dengan posita, maka permohonan kasasi dapat diterima dan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dibatalkan”.
n  Putusan MA RI No. 556 k/Sip/1971, tgl. 10 November 1971 jo Putusan MA RI  No. 1245 k/Sip/1974,tgl. 9 November 1976, “Putusan yang mengabulkan lebih dari yang dituntut, diizinkan selama hal itu masih sesuai dengan keadaan materil, asal tidak menyimpang daripada apa yang dituntut dan putusan yang hanya meminta sebagian saja, sesuai putusan MA No. 339 k/Sip/1969
n   Dwangsom (uang paksa), Ps. 225 HIR jo 1267 BW
n  Putusan MA RI No. 307k /Sip/1976, tgl. 7 Desember 1976, “Dwangsom akan ditolak apabila putusan dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil
n  Putusan  MA RI No. 79k/Sip/1972, “ Dwangsom tidak dapat dituntut bersama –sama dengan tuntutan membayar uang”
n  Ne bis in idem
Unsur-unsur nebis in idem :
n  Objek tuntutan sama
n  Alasan yang sama
n  Subjek gugatan sama
n  Putusan MA RI No. 144 k/Sip/1973, tgl. 27 Juni 1973, “Putusan declaratoir Pengadilan Negeri mengenai penetapan ahli waris/ warisan bukan merupakan nebis in idem”.
n  Putusan MA RI No. 102 k/Sip/1968, “Bila ternyata pihak-pihak berbeda dengan pihak-pihak dalam perkara yang sudah diputus terlebih dahulu, maka tidak ada nebis in idem”.
n  Para Pihak Harus Lengkap
n  Putusan MA RI No. 663k/Sip/1971, tgl. 6 Agustus 1971 Jo. Putusan MARI No. 1038k/Sip/1972, tgl. 1 Agustus 1973, “Turut Tergugat adalah seseorang yang tidak menguasai sesuatu barang akan tetapi demi formalitas gugatan harus dilibatkan guna dalam petitum sebagai pihak yang tunduk dan taat pada putusan hakim perdata.”
n  Tuntutan Provisionil
n  Putusan MA RI No. 1070k /Sip / 1972, tgl. 7 Mei 1973, “Tuntutan provisionil yang tercantum dalam pasal 180 HIR hanyalah untuk memperoleh tindakan-tindakan sementara selama proses berjalan; tuntutan provisionil yang mengenai pokok perkara tidak dapat diterima “.
n  Putusan MARI No. 1400k/Sip/1974, tgl. 18 Nopember 1975, “Perbedaan hakim-hakim anggota dalam pemeriksaan tuntutan provisionil dan dalam pemeriksaan pokok perkara adalah tidak mengakibatkan batalnya seluruh putusan karena tuntutan provisionil sifatnya mempermudah pemeriksaan dalam pemutusan pokok perkara”.
n   Putusan MA RI No. 753k/ Sip/ 1973, tgl. 22 April 1975, “Keberatan yang diajukan Penggugat untuk Kasasi; bahwa Pengadilan Negeri telah menjatuhkan putusan sela yang merupakan putusan provisionil menyimpang dan melebihi dari surat gugatan, sebab tuntutan provisionil semacam itu tidak pernah diajukan oleh Penggugat asal, tidak dapat diterima karena hal  itu  menyebabkan batalnya putusan judex facti”.
n  Putusan MA RI No. 279k/Sip/1976, tgl. 5 Juli 1976, “Permohonan provisi seharusnya bertujuan agar ada tindakan hakim yang mengenai pokok perkara; permohonan provisi yang berisikan pokok perkara harus ditolak”.
n  Tuntutan Warisan-Daluarsa
n  Putusan MA RI No. 7 k/Sip/1973, tgl. 27 Februari 1975,” Tidak ada batas waktu daluarsa dalam menggugat harta warisan “.
n  Putusan MARI No. 425k/Sip/1975, tgl. 15 Juli 1975, “Mengabulkan lebih dari petitum diizinkan, asal saja sesuai dengan posita. Disamping itu dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia, baik hukum acara pidana /perdata, hakim bersifat aktif”
n  Mengabulkan apa yg tak dituntut
Putusan MA RI No. 339k/Sip/ 1969, tgl. 21 Februari 1970,
n  Putusan Pengadilan Negeri harus dibatalkan karena putusannya menyimpang daripada yang dituntut dalam surat gugatan lagipula putusannya melebihi dari apa yang dituntut dan lebih menguntungkan pihak Tergugat sedang sebenarnya tidak ada tuntutan rekopensi.
n  Putusan Pengadilan Tinggi juga harus dibatalkan karena hanya memutus sebagian saja dari tuntutan.
Putusan MARI No. 77 k/Sip/1973, tgl. 19 September 1973, “Karena petitum tidak menuntut ganti rugi, maka putusan Pengadilan Tinggi yang mengharuskan Tergugat mengganti kerugian harus dibatalkan.”
n  Perubahan gugatan
n  Putusan MA RI No. 209k/Sip/1970, tgl.6 Maret 1971, “Perubahan Gugatan diperbolehkan asal tidak mengubah atau menyimpang dari kejadian materil, walaupun tidak ada gugatan subsider (Ex aequo et bono)”.
n  Putusan MA RI  No. 1043 k/ Sip/1971, tgl. 3 Desember 1974, “Perubahan atau tambahan surat gugatan boleh asal tidak mengakibatkan perubahan posita dan Tergugat tidak dirugikan dalam haknya untuk membela diri”.
n  Putusan MA RI No. 226 k/Sip/1973, tgl. 27 November 1975, “Perubahan gugatan mengenai pokok perkara harus ditolak”.
n  Putusan MA RI No. 1070 k/Sip/1975, tgl. 7 Mei 1973, “ Tuntutan provisional yang mengenai pokok perkara tidak dapat diterima “.
n  Putusan MA RI No. 224 k/Sip/ 1975,tgl. 25 November 1975, “Pengadilan Tinggi dapat menerima gugatan insidentil, untuk diperiksa bersama-sama dengan gugatan pokok
n  Tanggung Jawab Guarantor
n  Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 992 K/Pdt/1995 tanggal 31 Oktober 1997 diputus oleh majelis hakim Yahaya Harahap, HL. Rukmini, Iswo, dengan kaidah hukum :
n  “Status Keperdataan principal tidak dapat dialihkan kepada guarantor diluar tuntutan pembayaran hutang karena penjamin selamanya adalah penjamin atas hutang prinsipal yang tidak mampu membayar hutang, maka kepada diri guarantor tidak dapat dimintakan pailit, sedangkan yang dapat dituntut hanyalah pelunasan hutang prinsipal”.
n  (Mahkamah Agung-Republik Indonesia.Yurisprudensi Mahkamah Agung-Republik Indonesia Jakarta: Oktober 1999, hal.140).
n  Perlindungan Hukum
bagi Pembeli yang beriktikad baik
n  Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 314 K/TUN/1996 tanggal 29 Juli 1998 diputus oleh majelis hakim German Hoedianto, Ny. Emin Aminah, Toton Suprapto, dengan kaidah hukum :
n  “Pembeli lelang tanah eksekusi pengadilan yang dilaksanakan oleh kantor lelang negara harus mendapat perlindungan hukum, karena itu penguasaan sertifikat atas tanah oleh Pemerintah Daerah adalah tidak sah dan sertifikat hak miliknya harus dinyatakan batal demi hukum.
n  (Mahkamah Agung-Republik Indonesia.Jakarta: Oktober 1998, hal.446).
n  Risalah Lelang bukan Obyek TUN
n  Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 47 K/TUN/1997 tanggal 26 Januari 1998 oleh majelis hakim Sarwata,SH., German Hoedianto,SH dan Th. Ketut Suraputra SH, telah memberikan kaidah hukum :
n  “Risalah lelang bukan merupakan keputusan Badan/Pejabat TUN tetapi merupakan berita acara hasil penjualan lelang barang tereksekusi, sebab tidak ada unsur ‘Beslissing’ maupun pernyataan kehendak dari pejabat kantor lelang”.
n  (Mahkamah Agung Republik Indonesia. Yurisprudensi Mahkamah Agung-Republik Indonesia.Jakarta: Oktober 1998, hal.537).
n  Hibah wewenang PA
n  Putusan Mahkamah Agung No. 552 K/Sip/1970.joPutusan Pengadilan Tinggi Medan No. 237/1967 jo Putusan Pengadilan Negeri Band Aceh No. 10/1964.
n  Kaidah Hukum :
    Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi (Pengadilan Umum) tidak berwenang untuk memeriksa perkara hibah yang menurut Hukum Agama Islam. Adapun yang berwenang adalah Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.
n  Yurisprudensi tahun 1970 (Buku No. 4)
n  Kurang Memberikan Pertimbangan Hukum yang Cukup (onvoldoende gemotiveerd).
n  Putusan Mahkamah Agung No. 638 K/Sip/1969 jo
     Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 151/1969 Pdt/PT Smg. Jo Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 49/1964 Pdt.
n  Kaidah Hukum:
n  Mahkamah Agung mengganggap perlu untuk meninjau keputusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang kurang cukup dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd).
     ( Yurisprudensi tahun 1970 , Buku No. 4, hal 525-537)
n  Putusan Mahkamah Agung No. 492K/Sip/1970 jo Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 252/1968 PT Pdt. Jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta No. 502/67 G.
n  Kaidah Hukum:
    1. Putusan Pengadilan Tinggi harus dibatalkan karena kurang cukup pertim bangannya (onvoldoende gemotiveerd)  yaitu karena dalam putusannya itu hanya mempertimbangkan soal keberatan-keberatan yang diajukan dalam memori banding dan tanpa memeriksa perkara itu kembali baik mengenai fakta-faktanya maupun mengenai soal pengetrapannya hukumnya terus menguatkan putusan Pengadlan Negeri begitu saja.
2. Pertimbangan dalam Putusan Pengadilan Negeri hanya mempertimbangkan soal tidak benarrnya bantahan dari pihak tergugat, tanpa mempertimbangkan fakta-fakta apa dan dalil-dalil mana yang tela dianggap terbukti lalu mengabulkan begitu saja seluruh gugatan tanpa saru dasar pertimbangan adalah kurang lengkap dan karenanya harus dibatalkan.
3. Tuntutan-tuntutan yang berupa:
n  agar semua putusan Menteri dinyatakan tidak sah tanpa menyebut putusan-putusan yang mana, serta
n  agar segala perbuatan tergugat terhadap penggugat harus dinyatakan tidak sah tanpa menyebutkan dengan tegas perbuatan-perbuatan tergugat yang mana yang dituntut itu, dan
n  ganti kerugian sejumlah uang tertentu tanpa perincian kerugian-kerugian dalam bentuk apa yang menjadi dasar tuntutan itu, harus dinyatakan tidak dapat diterima karena tuntutan tersebut adalah tidak jelas/tidak sempurna   ( (Yurisprudensi tahun 1970 , Buku No. 4, hal 391-410)
¨  Definisi Putusan
¨  Putusan hakim adalah pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.
¨  Di dalam literatur Belanda dikenal istilah “Vonnis” dan “ Gewijsde” yang dimaksud dengan vonis adalah putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga masih tersedia upaya hukum biasa, sedangkan gewijsde adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga hanya tersedia upaya hukum khusus.
¨  Kekuatan putusan
¨  Kekuatan mengikat
¨  Kekuatan pembuktian
¨  Kekuatan eksekutorial
¨  Putusan hakim terdiri dari 4 bagian
  Kepala putusan (irah-irah) “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
  Identitas para pihak
  Pertimbangan (Konsideran)
è             pertimbangan mengenai peristiwanya.
è             pertimbangan mengenai hukumnya
  Amar (Diktum)
¨  Jenis-jenis putusan
¨  Putusan sela
Ø   putusan praeparatoir
Ø   Putusan interlocutoir
Ø   Putusan insidentil
Ø   Putusan Provisionil
¨  Putusan akhir
Ø   Putusan Deklaratoir
Ø   Putusan Konstitutif
Ø   Putusan Condemnatoir
¨  Contoh putusan deklaratoir
Menetapkan  :
Menerima permohonan pemohon.
Mengabulkan permohonan pemohon.
Menyatakan bahwa …..dst…..dst…..
Menyatakan pula bahwa …..dst…..dts…..
¨  Contoh putusan kondemnatoir
Mengadili :
Menerima permohonan penggugat
Menolak/mengabulkan gugatan penggugat…dst…
Menghukum tergugat/penggugat untuk …..dst…..
¨  Contoh putusan konstitutif
Mengadili :
Menerima gugatan penggugat
Mengabulkan gugatan penggugat…..dst…..
Membatalkan perjanjian …..dst…..
¨  UPAYA HUKUM
¨   upaya hukum biasa ; perlawanan (verzet), banding dan kasasi.
¨   upaya hukum luar biasa ; peninjauan kembali (request civil), perlawanan pihak ketiga (derden verzet)
¨  Perlawanan (Verzet)
¨  Menurut ketentuan Ps. 125 ayat (3) HIR Jo. Ps. 129 HIR tergugat yang diputus dengan verstek dapat mengajukan perlawanan dalam jangka waktu :
1.      Dalam jangka waktu 14 hari setelah pemberitahuan putusan.
2.      Dalam jangka waktu 8 hari setelah tergugat mendapat teguran dari hakim untuk melaksanakan putusan.
3.      Dalam jangka waktu 8 hari setelah hakim memerintahkan sita eksekutorial, kalau tergugat tidak datang menghadap hakim setelah dipanggil secara sah.
¨  BANDING
¨  Disampaikan kepada PN yang memutus perkara dalam jangka waktu 14 hari terhitung sejak diterimanya putusan. Jangka waktu 30 hari jika tempat tinggal pihak yang kalah di luar wilayah hukum pengadilan yang memutus, tapi masih dalam wilayah jawa – madura. Dan 6 minggu jika bertempat tinggal di luar wilayah jawa – madura.
¨  Putusan dalam tingkat banding :
  1. Menguatkan putusan PN, artinya : apa yang telah diperiksa dan diputus oleh PN dianggap benar dan tepat menurut rasa keadilan.
  2. Memperbaiki putusan PN, artinya : apa yang telah diperiksa dan diputus oleh PN dipandang kurang tepat menurut rasa keadilan oleh karena itu perlu diperbaiki.
  3. Membatalkan putusan PN, artinya : apa yang telah diperiksa dan diputus oleh PN dipandang tidak benar dan tidak adil, oleh karena itu harus dibatalkan
¨  KASASI
  1. APABILA PERATURAN HUKUM TIDAK DILAKSANAKAN ATAU ADA KESALAHAN DALAM PELAKSANAANNYA.
  2. APABILA TIDAK DILAKSANAKAN CARA MELAKUKAN PERADILAN YANG HARUS DILAKSANAKAN MENURUT UU
¨  Permohonan kasasi tidak dapat diterima alasannya :
  1. Jangka waktu yang diperkenankan untuk mengajukan kasasi telah lewat, atau
  2. Memori kasasi tidak dimasukan atau terlambat memasukannya, atau
  3. Pihak pemohon kasasi tidak / belum menggunakan haknya yang lain misalnya : verzet dan banding.
Memutuskan :
  1. Menyatakan , permohonan kasasi dari penggugat dalam kasasi tidak dapat diterima …………
  2. Menolak permohonan kasasi dari penggugat dalam kasasi tersebut ……………………
  3. Menghukum penggugat dalam kasasi untuk membayar semua biaya perkara …..dst…….
¨  Permohonan kasasi ditolak alasannya :
  1. Semata-mata mengenai kejadian atau peristiwa yang tidak termasuk wewenang majelis hakim kasasi, sedangkan dulunya keberatan itu tidak pernah diajukan kepada majelis hakim yang memeriksa perkara.
  2. Alasan yang dikemukakan dalam memori kasasi justru bertentangan dengan hukum, sedangkan judex facti telah benar menerapkan hukumnya; atau
  3. Mungkin juga alasan hukum yang dikemukakan dalam memori kasasi tidak mendukung putusan yang telah diambil oleh judex facti artinya tidak ada sangkut pautnya dengan hukum yang menguasai pokok perkara.
Memutuskan :
Menolak permohonan kasasi dari penggugat dalam kasasi ……dst……
Menghukum penggugat dalam kasasi untuk membayar semua biaya perkara……
¨  Permohonan kasasi dikabulkan
¨  Memutuskan :
  1. Menerima permohonan kasasi penggugat dalam kasasi …….dst…….
  2. Membatalkan putusan pengadilan tinggi …..dst….
¨  SYARAT AGAR PERMOHONAN KASASI DAPAT DIAJUKAN :
  1. PERKARA YANG DIMOHONKAN KASASI SUDAH DIPERIKSA DAN DIPUTUS OLEH PT DALAM TINGKAT BANDING.
  2. MASIH DALAM TENGGANG WAKTU 14 HARI SESUDAH PUTUSAN PT DIBERITAHUKAN KEPADA PEMOHON.
  3. MEMBAYAR BIAYA PERKARA UNTUK KASASI.
  4. HARUS MELAMPIRKAN MEMORI KASASI / KONTRA MEMORI KASASI
¨  PENINJAUAN KEMBALI
  1. Apabila putusan didasarkan kepada kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
  2. Apabila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang menentukan yang pada waktu perkara diputus tidak dapat ditemukan.
  3. Apabila setalah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
  4. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan sebab-sebabnya.
  5. Apabila antara pihak-pihak yang sama, atas dasar yang sama pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu sama lain.
  6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
¨  Tenggang waktu mengajukan PK berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud Pasal 2 Perma No. 1 tahun 1980
  1. Untuk tersebut pada nomor satu peraturan ini selama 6 bulan sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap atau sejak hari diketahui/terjadinya/hal-hal/alasan-alasan yang dimaksud, hari serta tanggalnya dapat dibuktikan secara tertulis.
  2. Semua jenis putusan pengadilan yang diatur dengan UU yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan PK
  3. PK dapat dilakukan apabila ada alasan-alasan dan menurut prosedur yang diatur dengan UU
  4. PK dapat dimintakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan kepada MA.
  5. PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan hanya dapat diajukan satu kali.
¨  Akibat hukum dari PK
  1. Putusan yang dimohonkan PK dibatalkan.
  2. Putusan yang sudah dilaksanakan wajib dipulihkan kembali.
  3. Putusan PK memperkaya yurisprudensi hukum perdata Indonesia sebagai sumber hukum.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar