Translate

Senin, 22 Juni 2015

PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA 2



Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai dengan kerajaan Demak pun menerapkan aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti Undang-undang raja niscaya, undang-undang mataram, jaya lengkara, kutara Manawa, dan kitab Adilullah berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga menjadi perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat nusantara. Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi ius sangatlah tepat.
Hukum yang pertama kali digunakan oleh VOC pada pusat-pusat perdagangan mereka di Nusantara adalah hukum yang dijalankan di atas kapal-kapal VOC (Scheeps Recht). Hukum kapal ini terdiri dari dua bagian, yaitu hukum Belanda kuno dan asas-asas hukum Romawi. Dalam perkembangannya, VOC kemudian mendapatkan Octrooi Staten General, sehingga dapat bertindak sebagai suatu badan pemerintah yang memiliki hak istimewa untuk memonopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kekuasaan yang dimilikinya, VOC kemudian mengeluarkan instruksi atau maklumat dalam bentuk plakat-plakat (plakaten).
Pada awalnya plakat tersebut hanya berlaku untuk wilayah kota Betawi. Namun seiring dengan kekuasaannya yang semakin meluas juga diberlakukan di seluruh wilayah VOC. Dikarenakan sejak awal tidak disusun dan dikumpulkan secara baik dan teratur, Gubernur Jenderal Van Diemen kemudian memerintahkan Joan Maetsuycker untuk menyusun dan mengumpulkan plakat-plakat tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah Statuten van Batavia
Dengan demikian pada masa VOC telah berlaku:
1.      Hukum statuten (termuat di dalam Statuta Batavia);
2.      Hukum Belanda yang kuno;
3.      Asas-asas hukum Romawi.
 asa legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali )Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. 
Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu
Batas diberlakukannya hukum pidana menurut tempat diatur dalam pasal 2,3,4,8,9 KUHP sedangkan batas berlakunya hukum pidana menurut orang atau subjeknya diatur dalam pasal 5,6,7 KUHP.
Mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang dikenal ada 4 asas yaitu :
1.      Asas teritorialiteit (territorialiteits-beginsel) atau asas wilayah negara
2.      Asas personaliteit (personaliteits beginsel) disebut juga dengan asas kebangsaan, asas nationalitet aktif atau asas subjektif (subjektions prinsip)
3.      Asas perlindungan (bescbermings beginsel) atau disebut juga asas nasional pasif
4.      Asas universaliteit (universaliteits beginsel) atau asas persamaan
Hukum Pidana Indonesia pada dasarnya menganut asas legalitas sebagimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
Meskipun prinsip dasar dari hukum berpegang pada asas legalitas namun dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan asas legalitas ini tidak berlaku mutlak. Artinya dimungkinkan pemberlakuan asas retroaktif walaupun hanya dalam hal-hal tertentu saja. Pemberlakuan surut diizinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyebutkan “ Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.” Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif jika :
a. menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan
b. menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).
Asas Retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat kumulatif:
(1) kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya;
(2) peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional;
(3) peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen; dan
(4) keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.

Pemberlakuan Asas Retroaktif sebaiknya tetap dipertahankan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal tersebut didasari oleh beberapa alasan yakni:
a.     Secara yuridis, asas retroaktif dimungkinkan melalui rumusan Pasal 28 J Undang undang Dasar Republik Indonesia 1945
b.    Ketentuan internasional memberikan peluang untuk memberlakukan asas retroaktif, bahkan telah menerapkan asas ini melalui pengadilan ad hoc 
c.       Asas retroaktif merupakan senjata untuk menghadapi kejahatan-kejahatan baru yang tidak dapat disejajarkan dengan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP ataupun diluar KUHP. Dengan demikian tidak ada pelaku yang dapat lolos dari jeratan hukum 
d.      Pemberlakuan asas retroaktif merupakan cerminan dari asas keadilan baik terhadap pelaku maupun korban. 
e.       Asas retroaktif sangat diperlukan dalam mengadili kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Adapun kualifikasi extra ordinary crime dapat dilihat pada jumlah korban, cara dilakukannya kejahatan, dampak psikologis yang ditimbulkan serta kualifikasi kejahatan yang ditetapkan oleh PBB. 
f.       Sesuai dengan asas-asas hukum pidana internasional, penolakan terhadap asas retroaktif ini semata-mata hanya dilihat melalui pendekatan hukum tata negara saja tanpa memperhatikan aspek pidana (nasional dan internasional).


RUU KUHP Pasal 1 (asas legalitas formil bergeser ke legalitasa materil )
1)      Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
2)      Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
Penjelasan  RUU KUHP Pasal 1 Ayat (1)
Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Digunakannya asas tersebut karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.
Penjelasan RUU KUHP Ayat (2)
Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakankonsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsirananalogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannya larangan penggunaan analogi maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktek selama ini dapat dihilangkan

Pidana Pengawasan dalam RUU H KUHP
Pasal 77
            Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
            penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan.
Pasal 78
1.      Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya.
2.      Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
3.      Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan
            syarat-syarat:
a.       terpidana tidak akan melakukan tindak pidana;
b.      terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/ atau
c.       terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
4.       Pengawasan dilakukan oleh balai pemasyarakatan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
5.       Jika selama dalam pengawasan terpidana melanggar hukum maka balai pemasyarakatan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pengawasan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pengawasan yang belum dijalani.
6.       Jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik maka balai pemasyarakatan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpendek masa pengawasannya.
7.       Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan setelah mendengar para pihak.
Pasal 79
1.      Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara maka pidana pengawasan tetapdilaksanakan.
2.      Jika terpidana dijatuhi pidana penjara maka pidana pengawasan ditunda dan dilaksanakan kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.
Paragraf 10
Pidana Kerja Sosial
Pasal 86
1.      Jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari pidana denda Kategori I maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial.
2.      Dalam penjatuhan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a.       pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan;
b.      usia layak kerja terdakwa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.       persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial;
d.      riwayat sosial terdakwa;
e.       perlindungan keselamatan kerja terdakwa;
f.       keyakinan agama dan politik terdakwa; dan
g.      kemampuan terdakwa membayar pidana denda.
3.      Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan.
4.      Pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama:
a.       dua ratus empat puluh jam bagi terdakwa yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas; dan
b.      seratus dua puluh jam bagi terdakwa yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
5.      Pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling singkat 7 (tujuh) jam.
6.      Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan/atau kegiatan lain yang bermanfaat.
7.      Jika terpidana tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah maka terpidana diperintahkan:
a.       mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut;
b.      menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; atau

c.       membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dibayar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar