Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap
daerah berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar macam
Sriwijaya sampai dengan kerajaan Demak pun menerapkan aturan hukum pidana.
Kitab peraturan seperti Undang-undang raja niscaya, undang-undang mataram, jaya
lengkara, kutara Manawa, dan kitab Adilullah berlaku dalam masyarakat pada masa
itu. Hukum pidana adat juga menjadi perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan
ditaati oleh masyarakat nusantara. Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi ius sangatlah
tepat.
Hukum yang pertama kali digunakan oleh VOC pada pusat-pusat perdagangan
mereka di Nusantara adalah hukum yang dijalankan di atas kapal-kapal VOC (Scheeps
Recht). Hukum kapal ini terdiri dari dua bagian, yaitu hukum Belanda kuno
dan asas-asas hukum Romawi. Dalam perkembangannya, VOC kemudian mendapatkan
Octrooi Staten General, sehingga dapat bertindak sebagai suatu badan pemerintah
yang memiliki hak istimewa untuk memonopoli pelayaran dan perdagangan,
mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di
Nusantara, dan mencetak uang. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kekuasaan
yang dimilikinya, VOC kemudian mengeluarkan instruksi atau maklumat dalam
bentuk plakat-plakat (plakaten).
Pada awalnya plakat tersebut hanya
berlaku untuk wilayah kota Betawi. Namun seiring dengan kekuasaannya yang
semakin meluas juga diberlakukan di seluruh wilayah VOC. Dikarenakan sejak awal
tidak disusun dan dikumpulkan secara baik dan teratur, Gubernur Jenderal Van
Diemen kemudian memerintahkan Joan Maetsuycker untuk menyusun dan mengumpulkan
plakat-plakat tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah Statuten van
Batavia
Dengan
demikian pada masa VOC telah berlaku:
1.
Hukum
statuten (termuat di dalam Statuta Batavia);
2.
Hukum
Belanda yang kuno;
3.
Asas-asas
hukum Romawi.
asa legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege
poenali )Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP.
Tidak dapat dipidana seseorang
kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan
yang telah ada terlebih dahulu
Batas diberlakukannya hukum pidana menurut tempat diatur
dalam pasal 2,3,4,8,9 KUHP sedangkan batas berlakunya hukum pidana menurut
orang atau subjeknya diatur dalam pasal 5,6,7 KUHP.
Mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang
dikenal ada 4 asas yaitu :
1. Asas teritorialiteit (territorialiteits-beginsel) atau asas
wilayah negara
2. Asas personaliteit (personaliteits beginsel) disebut juga
dengan asas kebangsaan, asas nationalitet aktif atau asas subjektif (subjektions prinsip)
3. Asas perlindungan (bescbermings beginsel) atau disebut
juga asas nasional pasif
4.
Asas universaliteit (universaliteits beginsel) atau asas
persamaan
Hukum Pidana
Indonesia pada dasarnya menganut asas legalitas sebagimana yang diatur dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada
sebelum perbuatan dilakukan”.
Meskipun prinsip dasar dari hukum berpegang pada
asas legalitas namun dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan asas
legalitas ini tidak berlaku mutlak. Artinya dimungkinkan pemberlakuan asas
retroaktif walaupun hanya dalam hal-hal tertentu saja. Pemberlakuan surut
diizinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang
menyebutkan “ Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan
dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling
menguntungkannya.” Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas
retroaktif jika :
a. menyatakan seseorang
bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut
dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan
b. menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).
b. menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).
Asas Retroaktif tidak boleh
digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat kumulatif:
(1) kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya;
(2) peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional;
(3) peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen; dan
(4) keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.
(1) kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya;
(2) peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional;
(3) peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen; dan
(4) keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.
Pemberlakuan Asas
Retroaktif sebaiknya tetap dipertahankan dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Hal tersebut didasari oleh beberapa alasan yakni:
a. Secara
yuridis, asas retroaktif dimungkinkan melalui rumusan Pasal 28 J Undang undang
Dasar Republik Indonesia 1945b. Ketentuan internasional memberikan peluang untuk memberlakukan asas retroaktif, bahkan telah menerapkan asas ini melalui pengadilan ad hoc
c. Asas retroaktif merupakan senjata untuk menghadapi kejahatan-kejahatan baru yang tidak dapat disejajarkan dengan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP ataupun diluar KUHP. Dengan demikian tidak ada pelaku yang dapat lolos dari jeratan hukum
d. Pemberlakuan asas retroaktif merupakan cerminan dari asas keadilan baik terhadap pelaku maupun korban.
e. Asas retroaktif sangat diperlukan dalam mengadili kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Adapun kualifikasi extra ordinary crime dapat dilihat pada jumlah korban, cara dilakukannya kejahatan, dampak psikologis yang ditimbulkan serta kualifikasi kejahatan yang ditetapkan oleh PBB.
f. Sesuai dengan asas-asas hukum pidana internasional, penolakan terhadap asas retroaktif ini semata-mata hanya dilihat melalui pendekatan hukum tata negara saja tanpa memperhatikan aspek pidana (nasional dan internasional).
RUU KUHP Pasal 1 (asas legalitas formil bergeser ke legalitasa
materil )
1)
Tiada
seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang
dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
2)
Dalam
menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
Penjelasan RUU KUHP Pasal
1 Ayat (1)
Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa
suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh
atau didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah
Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Digunakannya asas tersebut karena asas
legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan
perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada
sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak
berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan
mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.
Penjelasan RUU KUHP Ayat (2)
Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya
tindak pidana merupakankonsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsirananalogi
berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak
merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang
berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama,
karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan
ditegaskannya larangan penggunaan analogi maka perbedaan pendapat yang timbul
dalam praktek selama ini dapat dihilangkan
Pidana Pengawasan dalam RUU H KUHP
Pasal 77
Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan.
Pasal 78
1.
Pidana
pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan pribadi dan
perbuatannya.
2.
Pidana
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan untuk waktu paling
lama 3 (tiga) tahun.
3.
Dalam
penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan
syarat-syarat:
a.
terpidana tidak
akan melakukan tindak pidana;
b.
terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari
masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang
timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/ atau
c.
terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan
perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan
berpolitik.
4. Pengawasan dilakukan oleh balai pemasyarakatan pada
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak
asasi manusia.
5. Jika selama dalam pengawasan terpidana melanggar
hukum maka balai pemasyarakatan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat mengusulkan kepada
hakim pengawas untuk memperpanjang masa pengawasan yang lamanya tidak melampaui
maksimum 2 (dua) kali masa pengawasan yang belum dijalani.
6. Jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan
kelakuan yang baik maka balai pemasyarakatan pada kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia
dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpendek masa pengawasannya.
7. Hakim
pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan setelah mendengar
para pihak.
Pasal 79
1. Jika
terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak pidana dan
dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara maka pidana
pengawasan tetapdilaksanakan.
2. Jika
terpidana dijatuhi pidana penjara maka pidana pengawasan ditunda dan
dilaksanakan kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.
Paragraf 10
Pidana Kerja Sosial
Pasal 86
1. Jika pidana penjara yang akan
dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari
pidana denda Kategori I maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat
diganti dengan pidana kerja sosial.
2. Dalam penjatuhan pidana kerja sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dipertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
a. pengakuan terdakwa terhadap tindak
pidana yang dilakukan;
b. usia layak kerja terdakwa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. persetujuan terdakwa sesudah
dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja
sosial;
d. riwayat sosial terdakwa;
e. perlindungan keselamatan kerja
terdakwa;
f. keyakinan agama dan politik
terdakwa; dan
g. kemampuan terdakwa membayar pidana
denda.
3. Pelaksanaan pidana kerja sosial
tidak boleh dikomersialkan.
4. Pidana kerja sosial dijatuhkan
paling lama:
a. dua ratus empat puluh jam bagi
terdakwa yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas; dan
b. seratus dua puluh jam bagi terdakwa
yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
5. Pidana kerja sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling singkat 7 (tujuh) jam.
6. Pelaksanaan pidana kerja sosial
dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan
memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan/atau
kegiatan lain yang bermanfaat.
7. Jika terpidana tidak memenuhi
seluruh atau sebagian kewajiban menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan
yang sah maka terpidana diperintahkan:
a. mengulangi seluruh atau sebagian
pidana kerja sosial tersebut;
b. menjalani seluruh atau sebagian
pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; atau
c. membayar seluruh atau sebagian
pidana denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana
penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dibayar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar