Translate

Selasa, 26 November 2013

HUKUM KELUARGA & WARIS

HUKUM KELUARGA DAN WARIS
  Pengertian perkawinan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, secara jelas dituangkan dalam Pasal 1 yang berbunyi :
                “Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
  Sudah sangatlah jelas dari bunyi pasal yang dikemukakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin, bukan hanya ikatan lahirnya semata ataupun sebaliknya yaitu ikatan bathin saja.
  Melainkan kedua-duanya sehingga kehidupan dalam keluarga yang telah dijalin dengan adanya ikatan suci perkawinan yang menjadi sistem yaitu satu-kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan  sehingga saling melengkapi diantara keduanya.
  Misalkan dalam hubungan perkawinan hanya ada ikatan lahir saja yaitu suami hanya memberikan nafkah semata kepada istri atau anak-anaknya, tanpa memberikan kebutuhan batin kepada isteri dan anak-anakya yaitu kepada isteri lazimnya hubungan suami-isteri dan kepada anak-anaknya memberikan kasih sayang lazimnya seorang ayah memberikan kasih sayang kepada anaknya.
  Begitupun sebaliknya suami hanya memberikan kebutuhan batin saja tanpa memberikan kebutuhan lahir itu akan menimbulkan permasalahan yang cukup besar yang dimungkinkan perkawinan tersebut akan berakhir dengan kata cerai/perpisahan.
  Ikatan lahir dalam perkawinan  merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Ikatan lahir  ini terjadi dengan adanya upacara perkawinan yakni akad nikah bagi yang beragama Islam.
  Sebagai ikatan bathin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Dalam tahap permulaan, ikatan bathin ini tercermin dari adanya kerukunan suami isteri yang bersangkutan.
  Setelah adanya ikatan lahir dan bathin dalam perkawinan yang bertujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal.  Tanpa mengurangi landasan idiil perkawinan yang diatur dalam Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 yakni membentuk “keluarga bahagia dan kekal” dan tercantum dalam Pasal 3 KHI yang mengandung ruh Islam yakni “sakinah, mawadah, dan rahmah”
  Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) atau  Burgerlijk Wet Boek (BW) :
‘’Perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang lama menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang”.
  Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W) yaitu merupakan suatu perbuatan hukum dan akibat-akibatnya antara dua pihak. Artinya perkawinan adalah merupakan suatu perbuatan hukum dan akan mengakibatkan suatu akibat hukum antara kedua belah pihak yaitu calon mempelai laki-laki dan calon mempelai wanita.
  Yang dimana mempunyai tujuan untuk hidup bersama dalam waktu yang lama, artinya tidak ada batas waktu yang ditentukan   dalam perkawinan tersebut sama halnya dengan istilah kawin kontrak. Dan perkawinan tersebut adanya suatu peraturan yang mengaturnya sesuai undang-undang  yang berlaku.
  Hukum Islam :
“Suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah SWT
Artinya perkawinan merupakan perikatan yang suci yang dilaksanakan dengan disaksikan Allah SWT, kyai yang mengawinkanya, keluarga besar dari pihak isteri dan kedua mempelai laki-laki dengan disaksikan oleh tokoh agama yang ditunjuk oleh kedua mempelai tersebut.
  apabila janji suci perkawinan tersebut baik salah satu maupun kedua belah pihak mengingkari janji yang telah diucapkan artinya keluar dari pengertian beserta tujuan dari pengertian yang diuraikan menurut hukum Islam.
  Yang mempunyai tujuan mewujudkan kebahagian hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman dan kasih sayang. Artinya setelah adanya perikatan suci dalam perkawinan yang akan mewujudkan kehidupan keluarga yang bahagia sesuai dengan ajaran Allah dan rasul-Nya.
  Selain itu juga, perkawinan dalam Islam mempunyai tujuan yaitu memperluas dan mempererat hubungan kekeluargaan, serta membangun masa depan individu, keluarga dan masyarakat yang lebih baik
  Dari ketiga pengertian menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Burgerlijk Wet Boek (B.W) dan Islam mengenai perkawinan, sudah cukup jelas apa itu yang dimaksud perkawinan.
  Yang dimana mempunyai inti dan tujuan yang sama, yaitu perkawinan merupakan suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan yang hidup bersama dalam waktu yang lama dan mempuyai tujuan perkawinan yaitu kekal dan bahagia, sakinah, mawaddah dan rahman (dalam Islam).
·      Adapun dalam Undang-undang perkawinan telah mengariskan beberapa asas atau prinsip perkawinan, yakni          :
  1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
  2. Bahwa suatu perkawinan adalah sah bila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, disamping harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Asas monogami, yakni seorang suami beristerikan satu orang, kecuali jika dibenarkan oleh hukum agama dan Undang-undang untuk berpoligami (berisi lebih dari seorang). Untuk berpoligami diperlukan izin dari isteri-isteri yang sudah ada dengan keputusan pengadilan. (Lihat bab “Poligami dan Hukumnya”)
  1. Bahwa calon suami-isteri harus telah masak jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian, disamping dapat memperoleh keturunan yang baik dan sehat jasmani serta rohani. Untuk itu, Undang-undang menetapkan batas minimal usia kawin 19 tahun bagi laki-laki, dan 16 tahun bagi perempuan. (Lihat bab “Usia ideal Perkawinan”).
  2. Karena tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang berbahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-undang perkawinan menganut asas/prinsip mempersulit terjadinya perceraian. Perceraian terjadi karena alasan-alasan yang kuat serta dilakukan di depan sidang pengadilan.
  3. Hak dan kedudukan suami-isteri seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga segala sesuatu yang menyangkut kepentingan keluarga dapat diputuskan  bersama oleh suami dan isteri
·        Adapun untuk jelasnya ada pasal yang membolehkan untuk poligami, yakni Pasal 3 ayat (2) yang berbunyi :
                “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Seorang suami yang ingin beristeri lebih dari seorang tentunya harus mempuyai alasan yang cukup kuat, Sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi :
                “Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
  1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
  2. Isteri mendapat cacat badan dan penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan”.
  • Setelah memenuhi syarat yang dimungkinkan seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang tentunya harus memenuhi syarat sesuai yang telah ditetapkan dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, adapaun syarat yang dimaksud  tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi :
                “untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
  1. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
  2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
  3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka”.
  • Syarat-syarat  perkawinan
  • Syarat-syarat perkawinan pasal 6 sampai pasal 12 UU No 1 Tahun 1974 :
  1. Syarat materiil ( Pasal 6 sampai dengan pasal 11 UU 1/1974 )
  2. Syarat formal ( Pasal 12 UU 1/1974 )
  • Syarat Materiil :
  1. Perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan kedua calon suami isteri (Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Perkawinan)
  2. Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan izin dari kedua orang tuanya (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Perkawinan)
  3. Perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan)
  4. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin kecuali memenuhi syarat  Pasal 3 ayat 2 ( Poligami)
  5. Apabila suami istri bercerai sebanyak 2 kali tidak boleh kawin dulu dengan bekas suami /istri tersebut.
  1. Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu (Pasal 11 Undang-undang Perkawinan), yaitu ;
a)      Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
b)      Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari.
c)       Apabila perkawinan putus, sedang janda dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d)      Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka tidak ada masa tunggu.
  • Syarat formal :
  • Syarat-syarat formal dari formalitas-formalitas yang mendahului perkawinan. Syarat-syarat tersebut terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu ;
  1. Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan.
  2. Penelitian syarat-syarat perkawinan dilakukan setelah ada pemberitahuan akan perkawinan oleh Pagawai Pencatat Perkawinan. Penelitian syarat-syarat perkawinan memeriksa apakah syarat perkawinan sudah terpenuhi atau belum dan ada halangan perkawinan menurut Undang-undang.
  3. Pengumuman tentang pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan. Tujuan diadakan pengumuman ini, yaitu untuk memberi kesempatan kapada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan terhadap dilangsungkanya perkawinan. Pengumuman tersebut ditanda tangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, yang memuat tentang kapan dan dimana perkawinan itu dilangsungkan.
  • Larangan Perkawinan ( Pasal 8 UU 1/1974 ) :
  • Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
a.       Berhubungan darah dalam garis keturunan ke atas atau ke bawah.
b.      Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara saudara dengan saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan seseorang dengan saudara neneknya.
c.       Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu-bapak tiri.
d.      Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, bibi susuan.
e.      Berhubungan saudara dengan isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari 1 (satu) orang.
f.        Mempunyai hubungan yang agamanya atau peraturan lain yang berlaku sekarang .
  • Rukun perkawinan dalam islam :
Adapun rukun dalam perkawinan yang harus dipenuhi, tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)  Pasal 14, yang berbunyi ;
“Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
  1. Calon suami,
  2. Calon isteri,
  3. Wali nikah,
  4. Dua orang saksi, dan
  5. Ijab dan kabul.”
  • SYARAT MENJADI WALI :
1)    Beragama Islam.
2)    Baligh.
3)    Berakal sehat.
4)    Laki-laki.
5)    Adil (beragama dengan baik).
  • Pembagian wali untuk perkawinan itu terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu:
1.       Wali Nasab
2.       Wali Hakim
3.       Wali Muhakkam
Seorang suami yang ingin beristeri lebih dari seorang tentunya harus mempuyai alasan yang cukup kuat, Sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi :
                “Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
  1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
  2. Isteri mendapat cacat badan dan penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan”.
Setelah memenuhi syarat yang dimungkinkan seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang tentunya harus memenuhi syarat sesuai yang telah ditetapkan dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, adapaun syarat yang dimaksud  tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi :
                “untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
  1. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
  2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
  3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka”.
  Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. Bagi yang beragama Islam adalah Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan bagi yang bukan beragama Islam ialah Kantor Catatan Sipil atau Instansi/Penjabat yang membantunya
  Maksud dari pengumuman ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan bagi dilangsungkanya suatu perkawinan apabila diketahui bertentangan dengan hukum agama, kepercayaan yang bersangkutan atau bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku
Tujuan Pencatatan
  untuk memenuhi dokemen/administrasi dalam masalah perkawinan, mempunyai kepastian dan kekutan hukum yang tetap, diakuinya oleh negara perkawinan dan anak yang dihasilkan,  memudahkan apabila terjadi akibat hukum dari perkawinan seperti ; hak serta kewajiban anak dan pembagian harta warisan.
  Pencatatan perkawinan bagi mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang beragama Islam yakni di Kator Urusan Agama (KUA), sedang bagi yang beragama Non-Islam yakni di Kantor Catatan Sipil.
Batalnya Perkawinan
  Perihal yang membatalkan perkawinan dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 diatur pada pasal 22 s/d 28, yang lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pada pasal 37 dan 38.  Pasal 22 Undang-undang No. 1 tahun 1974 mengatakan ;
                “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
  Pihak-pihak yang berhak untuk melakukan pembatalan perkawinan sesuai dengan Pasal 23 UU No. 1 tahun 1974, yang berbunyi :
“Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
  1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;
  2. Suami atau isteri;
  3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
  Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
  Sedangkan Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No. 1 tahun 1974, hanya ada penambahan penegasan berupa pencegahan atas alasan “perbedaan agama” tidak menyangkut ini sebagai alasan pencegahan ;
  1. Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari perkawinan yang dilarang islam.
  2. Kemudian pasal 61 menegaskan, salah satu alasan pencegahan yang dibenarkan hukum ialah karena perbedaan agama atau Ikhtilaafuddien.
Putusnya perkawinan, menurut Pasal 38 Undang-undang No. 1 tahun 1974 adalah ;
                “Perkawinan putus karena ;
  1. Kematian
  2. Perceraian
  3. Keputusan pengadilan.”
1. Kematian
  • Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya perkawinan karenan kematian salah satu pihak (suami atau isteri).
  • Maka sejak kematian salah satu pihak itulah putusnya perkawinan terjadi dengan sendirinya. Dengan adanya kematian, maka timbul suatu akibat hukum yakni adanya harta waris yang ditinggal oleh si mati.
  • Harta Waris/Peninggalan ialah harta sisa setelah diambil untuk mencukupkan keperluan penyelenggaraan jenazah, sejak dari memandikan sampai memakamkan, kemudian untuk melunasi utang-utangnya, kemudian untuk melaksanakan wasiatnya, dalam batas sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari sisa harta setelah diambil untuk biaya penyelenggaraan jenazah dan melunasi utang-utangnya
2. Perceraian
  • Putusnya perkawinan karena perceraian adalah putusnya perkawinan karena dinyatakan talak oleh seorang suami terhadap isterinya yang perkawinannya dilakukan menurut agama Islam.
  • Putusnya perkawinan karena perceraian ini dapat juga disebut cerai talak. Lembaga cerai talak ini hanya diperuntukan bagi suami yang beragama Islam yang perkawinannya dilakukan menurut agama Islam yang ingin mencerai isterinya (Penjelasan pasal 14 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun1975)
3. Atas Putusan Pengadilan
  • Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan adalah putusnya perkawinan karenan gugatan perceraian isteri terhadap suaminya yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam atau karena gugatan perceraian suami atau isetri yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya bukan islam, gugatan perceraian tersebut dikabulkan Pengadilan dengan suatu keputusan.
  • Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan disebut juga dengan istilah cerai gugat, justru karena Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksananya menyebutkan bahwa perceraian ini dengan gugatan.
Suami yang mengeluarkan talak, tentunya mempunyai alasan-alasan  sehingga suami melakukan talak kepada isterinya. Disebutkan pada Pasal 39 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 yang sama isinya dengan PP. No. 9 tahun 1975 yaitu ;
1)      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar diembuhkan.
2)      Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain di luar dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya;
3)      Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang berat setelah perkawinan berlangsung;
4)      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganaiyaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain;
5)      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri/suami;
6)      Antara suami dan isteri terus-menerus tejadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Macam-macam Perceraian/Talak
Talak/Perceraian dalam Islam terbagi menjadi 2 (dua) macam yakni;
1)      Talak Suuni
  • Talak Sunni adalah talak yang dijatuhkan suami kepada isteri pada saat isteri dalam keadaan suci (tidak haid), dan selama suci itu belum dikumpuli.
2)      Talak Bid’i
  • Talak Bid’i adalah talak yang dijatuhkan suami kepada isteri yang dalam masa haid atau dalam keadaan suci tetapi sudah dikumpuli A. Zuhdi Muhdlor. Memahami Hukum Perkawinan. Al-Bayan.
  • Pada dasarnya talak hanya dapat dijatuhkan sampai tiga kali. Talak satu dan dua masih membuka peluang bagi mantan suami-isteri itu untuk rujuk (kembali) lagi sebelum habis masa iddahnya, atau menikah lagi jika telah habis masa iddahnya. Sesuai dengan firman Allah SWT surat Al-Baqarah  ayat 229 yang berbunyi :
                “Talak yang dapat dirujuki dua kali. Setelah boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik (QS. Al-Baqarah:229)
  • Dari firman Allah SWT di atas dapat dikelompokan bentuk-bentuk talak sebagai berikut ;
1.    Talak Raj’i
2.    Talak Ba’in Shugra
3.    Talak Ba’in Kubra
1)      Talak Raj’i
  • Talak raj’i adalah talak satu dan dua tanpa adanya penebus talak (iwadl) dari isteri untuk suami, di mana dalam masa iddah suami dapat merujuk kembali kepada isterinya tanpa akad.
2)      Talak Ba’in Shugra
  • Talak ba’in shugra adalah talak satu, dua, baik dijatuhkan sekaligus maupun berturut-turut, disertai dengan iwadl dari isteri untuk suami dimana suami masih dapat kembali dengan isterinya dengan akad baru
  • Ada tiga macam Talak Ba’in Shugra, yaitu ;
a.    Talak yang terjadi qabla dukhuli (sebelum berhubungan seksual);
b.    Talak dengan tebusan atau khuluk.
c.     Talak yang dijatuhkan Pengadilan Agama
3)      Talak Ba’in Kubra
  • Talak ba’in kubra adalah talak tiga kali, baik dijatuhkan sekaligus atau berturut-turut, dimana seorang suami tidak dapat menikah lagi dengan mantan isterinya  kecuali mantan isterinya tersebut telah kawin lagi dengan laki-laki lain kemudian bercerai setelah melakukan hubungan kelamin, dan telah habis pula masa iddahnya
Perkawinan Campuran dalam peraturan perundang-undangan.
1. Menurut Staatblad 1896 N0. 158.
Pengertian Perkawinan Campuran Masa Pemerintahan Kolonial Beslit Kerajaan
29 Desember 1896 No. 23 Staatsblad 1896/158 (Regeling op de gemengde
huwelijken", selanjutnya disingkat GHR) memberi defenisi sebagai berikut:
Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di bawah hukum yang
berlainan ( Pasal 1 ). Menurut Pasal 1 GHR tersebut, maka yang masuk dalam
lingkup perkawinan campuran yaitu:
a. Perkawinan campuran internasional, yaitu antara warganegara dan orang asiny,
antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan perkawinan yang
dilangsungkan di luar negeri.
b. Perkawinan campuran antar tempat, misalnya seperti perkawinan antara
seorang Batak dengan perempuan Sunda seorang pria Jawa dengan wanita
Lampung, antara orang Arab dari Sumbawa dan Arab dari Medan dan
sebagainya yang disebabkan karena perbedaan tempat.
c. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel). Adanya perkawinan
campuran antar golongan adalah disebabkan adanya pembagian golongan
penduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3 (tiga) golongan yaitu: (1)
Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing; (3) Golongan Bumi Putera
(penduduk asli) sehingga perkawinan yang dilakukan antar mereka yang
berbeda golongan disebut perkawinan campuran antar golongan
d. Perkawinan Campuran Antar Agama
Perkawinan bagi mereka yang berlainan agama disebut pula perkawinan
campuran.
Menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974.
a. Pengertian Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. (pasal
57)
Berdasarkan pasal 57 yang dimaksud perkawinan campuran adalah:
1). Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang lain
2) Perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan.
3). Perkawinan karena salah satu pihak berkewar ganegaraan Indonesia
            Selanjutnya Pasal 26 UU No.12 Tahun 2006, mengatur bahwa. PerempuanWarga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga Negara Asingkehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negaraasal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaar suami sebagaiakibat perkawinan tersebut. Laki-laki warga Negara Indonesia yang kawindengan perempuan warga Negara Asing kehilangan kewarganegaraan RepublikIndonesia jika menurut hukum Negara asal istrinya, kewarganegaraan suamimengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut. Jika ingintetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada pejabat atau perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut.
            Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kita perlu merujuk pada ketentuan Undang-Undang kewarganegaraan RI yang berlaku saat ini yaitu UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (“UU Kewarganegaraan”). Mengenai status kewarganegaraan dalam perkawinan campuran, hal tersebut diatur di dalam Pasal 26 UU Kewarganegaraan,
            Sedangkan berdasarkan UU No. 12 tahun 2006, maka seorang anak yang dilahirkan berdasarkan perkawinan campuran – dengan tidak memandang apakah ayah atau ibunya yang warga negara asing – dengan demikian anak tersebut dapat memiliki kewarganegaraan ganda. Namun pada saat berusia 18 tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
            Sedangkan yang berkaitan dengan harta kekayaan, hal itu sangat bergantung kepada sah atau tidaknya perkawinan campuran itu sendiri.Dalam hal perkawinan campuran dianggap sah berdasarkan UU No. 1 tahun 1974, maka pembagian harta kekayaan (bila terjadi perceraian) akan dilakukan berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 itu sendiri
_________________________________________________________________________________
HUKUM WARIS MENURUT HUKUM PERDATA BARAT
§  BUKU II BAB 12 DAN 16
§  Pasal 830 s.d 1130 KUHPerdata
Ps. 163 IS Stb. 1925 No.447 PENDUDUK DIBAGI MENJADI 3 GOL
1.       Gol Eropa dan yg dipersamakan, Misal Jepang
2.       Golongan Timur Asing yg terdiri dari :
a.   Gol Timur Asing Tionghoa
b.  Gol Timur Asing bukan Tionghoa misal Arab, India dsb.
c.    Gol Bumiputera (Gol Pribumi)
Ps. 131 IS yg menetapkan hkm mana yg berlaku bagi ketiga gol tsb
  1. Bagi Gol Eropa dan dipersamakan, berlaku Hukum Barat, Misal BW, WVK dan peraturan lain yg khusus diberlakukan baginya;
  2. Bagi Gol Timur Asing :
a.       Gol Timur Asing Tionghoa, berlaku Hk Barat dg beberapa pengecualian, (Stb. N0. 556/1924;
b.      Gol Timur Asing Bukan Tionghoa, diberlakukan Hk Adat negara asalnya
  1. Gol Bumi Putera, Hk Adatnya masing masing
Stb 1927 N0. 12 ttg UU Penundukan diri
Dengan adanya UU ini  Orang BumiPutera dimungkinkan kpdnya menundukan diri kepada HK Barat (BW/WVK) baik untuk seluruhnya, sebagian, terhadap sesuatu perbuatan ttt atau secara diam-diam. Apabila hal ini terjadi maka  kpdnya diberlakukan Hk Barat
PENGERTIAN WARISAN MRT WIRJONO PRODJODIKORO
Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
MRT SUBEKTI MEWARIS ADALAH
MENGGANTIKAN HAK DAN KEWAJIBAN SESEORANG YANG MENINGGAL. HAK DAN KEWAJIBAN DISINI ADALAH HAK DAN KEWAJIBAN DLM BIDANG HUKUM KEKAYAAN ARTINYA HAK DAN KEWAJIBAN YG DPT DINILAI DG UANG. DLM KUHPERDATA HAK DAN KEWAJIBAN TSB DIATUR DLM BUKU II DAN BUKU III
Pilto
 “Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.
PADA UMUMNYA PARA PENULIS HK SEPENDAPAT BAHWA :
 HK WARIS MERUPAKAN PERANGKAT KAIDAH YANG MENGATUR TENTANG CARA ATAU PROSES PERALIHAN HARTA KEKAYAAN DARI PEWARIS KEPADA AHLI WARIS ATAU PARA AHLI WARIS
HK WARIS DLM KUHPERDATA DIATUR DLM BUKU II
  1. KRN Hukum Waris adalah hk yg mengatur tentang harta benda dari orang yg sdh meninggal ( mrpkn Hak Kebendaan dr orang yg meninggal dunia)
  2. Pewarisan mrpkn salah satu cara untuk memperoleh hak milik, selain perlekatan, pemilikan dan daluwarsa . (Ps. 584 KUHPerdata).
TIGA UNSUR YG ADA DALAM PENGERTIAN WARISAN
  1. Seorang peninggal warisan (erflater), yg pd wafatnya meninggalkan kekayaan
  2. Seorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam), yg berhak menerima kekayaan yg ditinggalkan.
  3. Harta warisan(nalatenschap), yaitu ujud kekayaan yg ditinggalkan.
Unsur ke 1 menimbulkan persoalan:
Bagaimana dan sampai dimana hubungan seorang peninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana si peninggal warisan berada
Unsur ke 2 menimbulkan persoalan:
Bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris, agar kekayaan si peninggal warisan dan ahli waris bersama-sama berada.
Unsur ke 3 menimbulkan persoalan:
Bagaimana dan sampai dimana ujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana si peninggal warisan dan si ahliwaris bersama-sama berada.
SALAH SATU ASAS DLM HK WARIS ADALAH SAISIN
TERDAPAT DLM PS. 833 KUHPERDATA yg berbunyi sekalian ahli waris dengan sendirinya demi hukum memperoleh hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang dari si meninggal. Jadi begitu seorang meninggal, maka pada detik itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kpd para warisnya sehingga tdk ada satu detikpun kekosongan..
PS. 834 KUHPERDATA DIKENAL DG NAMA HEREDITATIS PETITIO ADALAH
 HAK SETIAP WARIS UNTUK MENUNTUT DARI ORANG YG TANPA HAK MENGUASAI BARANG WARISAN, SUPAYA BARANG ITU DISERAHKAN KEPADANYA (HAK MENUNTUT)
 SALAH SATU ASAS YG PENTING Yaitu PASAL 836 KUHPERDATA
Bahwa seorang waris hrs dg mengingat ketentuan Ps. 2 KUHPerdata sdh ada pada saat pewaris meninggal.
Ps 2 KUHPerdata mengatakan bahwa anak yg ada dlm kandungan ibunya dianggap sdh dilahirkan, bilamana kepentingan si  anak itu menghendakinya, tetapi apabila ia mati sewaktu dilahirkan, ia dianggap tdk pernah ada.


Sifat warisan
Sifat warisan dalam suatu masyarakat tertentu adalah berhubungan erat dengan sifat kekeluargaan serta pengaruhnya pada kekayaan dalam masyarakat itu
Hub sifat kekeluargaan dan sifat warisan Artinya :
Sifat dari kekeluargaan tertentu menentukan batas-batas, yang berada dalam tiga unsur dari soal warisan yaitu unsur peninggal warisan, unsur ahli waris dan unsur harta warisan
3 MACAM GOL SIFAT KEKELUARGAAN
1.       Sifat kebapakan (patriarchaat varderrechtelijk)
2.       Sifat keibuan (matriarchaat, moederrechtelijk)
3.       Sifat kebapak-ibuan(parental, onderrechtelijk)
Dalam kekeluargaan yg bersifat kebapakan
Seorang isteri oleh krnperkawinannya adalah dilepaskan dr hubungan kekeluargaan dg orang tuanya, nenek moyangnya, saudaranya sekandung, sdrnya sepupu dll seanak keluarganya.
sejak perkawinan si isteri masuk dlm kekeluargaan suaminya. (Perkawinan jujur). Terdapat di Batak ,Gayo, Alas, Ambon Irian, Timor dan Bali.
Kekeluargaan yg bersifat keibuan
Setelah perkawinan si suami berdiam di rumah si isteri atau keluarganya. Si suami sendiri tdk masuk keluarga si isteri, tetapi anak2 keturunannya dianggap kepunyaan ibunya sajadan si ayah pd hakekatnya tdk punya kekuassaan terhadap anak-anaknya.
Kekeluargaan yg bersifat keibu bapakan 
Pada hakekatnya tiada perbedaan antara suami dan isteri perihal kedudukannya dalam keluarga masing-masing.
HK WARIS SBG SALAH  SATU BIDANG HUKUM YG BERSIFAT NON NETRAL ARTINYA
HUKUM WARIS MERUPAKAN SALAH SATU BIDANG HUKUM YANG DIPENGARUHI OLEH CORAK BUDAYA, AGAMA, SOSIAL DAN ADAT ISTIADAT SERTA SISTEM KEKELUARGAAN DALAM MASYARAKAT INDONESIA.
JADI AKIBATNYA HK WARIS YG BERLAKU  DI INDONESIA DEWASA INI MASIH BERGANTUNG PD HK WARIS MANA YG BERLAKU BAGI YG MENINGGAL DUNIA.
Sistem kekeluargaan
Hk Waris erat hubungannya dengan Hk Keluarga, maka perlu kita mengerti sistem kekeluargaan yang dianut dalam Hukum Perdata (BW)
Sistem kekeluargaan yg dianut oleh Hukum Perdata (BW) ini adalah sistem kekeluargaan bilateral atau parental. Dlm sistem ini keturunan dilacak dari pihak suami maupun dr pihak Isteri
SISTEM KEWARISAN YANG DIANUT DALAM HUKUM PERDATA( BW) ADALAH:
SISTEM INDIVIDUAL.
Pada sistem ini, prinsipnya harta warisan harus dibagi-bagi pemilikannya di antara para ahli waris yang ada dan sah. Kedudukan anak laki-laki maupun perempuan sama-sama sebagai ahli waris.
HARTA WARISAN MENURUT HK PERDATA (BW)
a.       TIDAK DIKENAL BARANG BAWAANYAITU BARANG YG DIBAWA OLEH SUAMI ATAU ISTERI PD SAAT PERKAWINAN DILANGSUNGKAN.
b.      TIDAK MENGENAL HARTA GONO GINI ATAU BARANG PENCAHARIAN BERSAMA SUAMI ISTERI SELAMA PERKAWINAN. PENGECUALIAN DARI SEMUA INI HANYA DAPAT DILAKUKAN DG PERJANJIAN KAWIN.
c.       SEJAK DILANGSUNGKAN PERKAWINAN,MK TERJADIKLAH PERSATUAN BULAT ANTARA KEKAYAAN SUAMI DAN KEKAYAAN ISTERI DG TDK MEMANDANG SIAPA ASALNYA YANG MEMILIKI HARTA ITU (PS. 119)
BERDASARKAN PRINSIP  BW
BARANG WARISAN ITU TDK HANYA BERUPA HARTA BENDA SAJA , TETAPI JUGA HAK –HAK DAN KEWAJIBAN YG DAPAT DINILAI DENGAN UANG.
TERHADAP KETENTUAN TSB ADA BEBERAPA  KEWAJIBAN2 DLM LAPANGAN HARTA KEKAYAAN YG TDK DPT BERALIH KEPADA PARA AHLI WARIS. ANTARA LAIN :
1.       Hak memungut hasil (vruchtgebruik).
2.       Perjanjian perburuhan, dg pekerjaan yg harus dilakukan bersifat pribadi.
3.       Perjanjian perkongsian dagang, baik yg berbentuk maatschap mrt BW maupun firma mrt WVK, sebab perkongsian ini berakhir dg meninggalnya salah seorang anggota/pesero
Beberapa hak yg walaupun terletak dlm lapangan hk keluarga, tetapi dpt diwariskan kpd ahli waris yaitu
  1. Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak
  2. Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak sah dari bapak atau ibunya.
CARA MEMPEROLEH HARTA WARISAN
a.       BERDASARKAN KETENTUAN UU ATAU WETTELIJK ERFRECHT ATAU ABINTESTATO YI AHLI WARIS YG MENDAPATKAN BAGIAN WARISAN KRN HUBUNGAN KEKELUARGAAN YG BERDASARKAN PADA TURUNAN;
b.      TESTAMENT ATAU WASIAT ATAU TESTAMENTAIR ERFRECHT, YAITU SEORANG AHLI WARIS YG MENDAPATKAN BAGIAN HARTA WARISAN KRN DITUNJUK ATAU DITETAPKAN DALAM SUATU WASIAT
AB-INTESTATO ADALAH AHLI WARIS MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG
* Anak keluarga dr yg meninggal dunia (mrk yg saling mempunyai hubungan darah). Ini dibagi 4 golongan:
AHLI WARIS  GOLONGAN PERTAMA INI TERDIRI DARI :
1. Anak dan sekalian keturunannya.
    Mereka ini tdk dibedakan jenis kelamin, waktu kelahiran dan perkawinan yg pertama atau yg kedua(Ps 852). Bagian mereka sama, Kpl demi kpl sama rata dan mengenal sistem pergantian
2. ISTERI/SUAMI (PS. 852 A)
l  Bagian suami/Isteri ini terdapat perbedaan yg didasarkan pada waktu dilangsungkannya perk. Yaitu sbb:
l  A. Bagian ISTERI/SUAMI DR PERK PERTAMA, adalah seperti bagian anak, kecuali isteri hamil atau suami dr perk kedua;
l  B. Bagian Isteri/suami dlm perk yg kedua, adalah max ¼ (seperempat) dr harta warisan atau tdk boleh melebihi bagian anak yg terkecil apabila dr perk yg pertama terdapat anak dr si meninggal.
3. ANAK LUAR KAWIN
l  Dalam UU diatur secara khusus, dlm arti berbeda dg bagian warisan seorang anak sah. ( dibahas tersendiri)
AHLI WARIS GOL II
1. Bapak dan /atau Ibu si meninggal. Mrt Ps. 854, sbb:
a.       Ayah dan Ibu masing2 mendapat 1/3 (sepertiga)bagian dr harta warisan jika hanya ada satu saudara si mati
b.      Ayah dan Ibu masing2 mendapat 1/4 (seperempat) bagian dr harta warisan jika ada lebih dr satu saudara si mati
MRT PASAL 855 APABILA AYAH ATAU IBU(salah satu telah meninggal) bagiannya sbb:
A. ½ bagian dr harta warisan, jika hanya ada satu saudara
B. 1/3 bagian dr harta warisan jika ada dua saudara;
C. ¼ bagian dari harta warisan jika ada lebih dari dua saudara.
2. Saudara
Sdr disini dibedakan sdr kandung dg sdr seayah atau seibu tetapi lain ayah atau lain ibu. Bagiannya sbb:
A. Sdr Kandung (Ps. 856)
                                   i.          Seluruh harta warisan, apabila ahli waris lainnya tak ada;
                                 ii.          Sisa harta warisan, setelah harta warisan  dikurangi bagian ayah dan/atau Ibu (854 dan 855)
                                iii.          Diantara sesama saudara kandung, harta warisan dibagi sama rata.
B. Saudara se ayah atau se Ibu tetapi lain ayah atau ibu (Ps 857) bgian sdr:
Ahli waris seayah dan seibu, mendapat bagiab daru dua pancer;
Ahli waris yg hanya seayah atau seibu, mendapat bagian hanya dari satu pancer;
Apabila semininggal tdk meinggalkan ayah atau ibu, tetapai ia meninggalkan saudara seayah atau seibu, maka mereka hanya mendapat bagian dr satu arah, yi dr grs ayah saja atau garis ibu saja
JADI APABILA ORANG YG MENINGGAL ITU TIDAK MENINGGALKAN AYAH ATAU IBU TDK MENINGGALKAN SAUDARA DR AYAH ATAU IBU YG BERLAINAN, MAKA HARTA WARISAN DIPECAH MENJADI DUA. Sebagian untuk sdr yg seayah dan sebagian lagi untuk saudara yang seibu.
AHLI WARIS GOLONGAN III TERDIRI DARI :
a.    KAKEK DAN NENEK dan seterusnya dlm garis lurus keatas dr pihak ayah dan ibu simeninggal.
b.    Ahli waris GolIII baru tampil menerima warisan apabila ahli waris dr gol I dan II tdk ada.
BAGIAN WARISAN AHLI WARIS GOL III sbb:
A.   ½ bagian dr harta warisan, diberikan kpa kakek dan nenek dan seterusnya ke atas, dr pihak ayah;
B.    ½ bagian dari harta warisan, diberikan kpd kakek dan nenek dan seterusnya ke atas, dari pihak ibu.
Cttn : di dlm hk waris siapa yg derajatnya paling dekat dg yg si menggal, mk ialah yg lebih berhak dr derajat yg lebih jauh.
AHLI WARIS GOLONGAN KE IV INI TERDIRI DARI :
Keluarga sedarah dr garis menyamping yg dibatasi sampai derajat keenam, baik dr pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Ahli waris golongan ke iv baru tampil apabila tidak ada ahli waris gol ke III
BAGIAH WARISAN AHLI WARIS GOL IV SBB:
A.   Harta warisan dipecah menjadi dua, sebagian diberikan kpd keluarga dr pihak ayah dan sebagian lagi diberikan kpd keluarga dr pihak ibu;
B.    Apabila pd satu belahan , tidak ada lagi ahli warisnya sampai derajat ke enam, maka bagian belahan ini diberikan kpd belahan yg lain ( Ps 861);
C.    Apabila belahan yg lain jg tdk ada ahli warisnyamaka jatuh pd anak luar kawin (873)
D.   Apabila tdk ada anak luar kawin maka harta warisan jatuh kpd Negara( Ps. 832)
AHLI WARIS DERAJAT KE TUJUH APAKAH BISA TAMPIL SBG AHLI WARIS?
AHLI WARIS DALAM DERAJAT KETUJUH HANYA DAPAT MUNCUL MENJADI AHLI WARIS, APABILA BERSAMA-SAMA DG AHLI WARIS DARI DERAJAT KEENAM ( PAMAN DAN BIBI) , Ps 845 KUHPerdata
b. MEWARIS SECARA TESTAMENTER adalah Ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat
DALAM HAL INI PEMILIK KEKAYAAN MEMBUAT WASIAT DIMANA PARA AHLI WARISNYA DITUNJUK DALAM WASIAT ITU.
PENGERTIAN ANAK LUAR KAWIN ADALAH
ANAK YG LAHIR DILUAR IKATAN PERKAWINAN YG SAH ANTARA AYAH DAN IBU YG MELAHIRKANNYA.
GOLONGAN ANAK LUAR KAWIN DARI SEGI HUKUM DPT KITA GOLONGKAN KEDALAM DUA GOLONGAN YAITU
1. GOL anak luar kawin yg tidak dapat diakui yaitu
A. anak yg lahir dr hubungan zina;
B. anak sumbang
2. Gol anak luar kawin yg dapat diakui adalah anak yg dilahirkan dr hubungan anatara laki2 dan perempuan dimana keduanya tdk terikat dlm status perkawinan
BAGIAN WARISAN ANAK LUAR KAWIN
1. 1/3 dari bagian seandainya ia anak sah (Pasal 863). Hal ini dg catatan, apabila ia mewaris bersama2 dg anak sah atau seorang isteri dr si meninggal.
2. ½ dr seluruh harta warisan(Ps 863 (2) dg catatan apabila ia mewaris bersama2 dg keluarga grs lurus ke atas dan saudara2 si meninggal………….(lht hal 14)
ORANG-ORANG YG TDK PATUT MENERIMA WARISAN (PS. 838 BW)
1.       Orang yg dg putusan Hakim telah dihukum krn dipersalahkan telah membunuh atau telah mencoba membunuh pewaris.
2.       Orang yg menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan surat wasiat atau dg memakai kekerasan atau ancaman telah menghalang-halangi si pewaris untuk membuat surat wasiat mrt kehendaknya
3.       Orang yg krn putusan Hakim telah terbukti, bahwa ia telah memfitnahkan orang yg meninggal dunia dlm perkara berbuat kejahatan yg diancam dg hukuman 5 th atau lebih
Mrk yg tdk boleh mencari keuntungan berhubung jabatannya
a.       Notaris serta saksi-saksi dlm pembuatan testamen itu
b.      Pendeta atau dokter-dokter yg melayani dan merawat si pewaris selama sakitnya yg terakhir
WASIAT adalah
SUATU PERNYATAAN DARI SESEORANG TENTANG APA YANG DIKEHENDAKI SETELAH IA MENINGGAL DUNIA , DIMANA ISINYA TDK BOLEH BERTENTANGAN DG UU( Ps. 875 KUHPerdta)dan biasanya isi drpd wasiat adalah suatu “erstelling”penunjukan seseorang atau beberapa orang menjadi ahli waris
LEGAAT suatu pemberian kepd seorang yg dpt berupa
1)    Satu atau beberapa benda tertentu
2)    Seluruh benda dari satu macam atau jenis mis seluruh benda yg bergerak;
3)    Hak “vruchtgebruik”atas sebagian atau seluruh warisan;
4)    Suatu hak lain terhadap boedel, mis hak untuk membeli satu atau beberapa benda ttt dar boedel.
LEGATARIS adalah penerima legaat
a.    Ia hanya mempunyai hak penuntutan penyerahan benda atau pelaksanaan hak yg diberikan kpdnya dari sekalian ahli waris. Dg perkataan lain suatu legaat memberikan suatu penuntutan terhadap boedel. 
b.    Adakalanya legataris yg menerima beberapa benda diwajibkan memberikan salah satu kpd orang lain yg ditunjuk dlm testament dan pemberian suatu benda yg harus ditagih dr seorang legataris ini disebut sub legaat.
WARISAN MRT HK ISLAM YAITU
SEJUMLAH HARTA BENDA SERTA SEGALA HAK DR YG MENINGGAL DUNIA DALAM KEADAAN BERSIH, ARTINYA HARTA PENINGGALAN YG AKAN DIWARISI OLEH PARA AHLI WARIS ADALAH SEJUMLAH HARTA BENDA SERTA SGL HAK “SETELAH DIKURANGI DG PEMBAYARAN HUTANG2 PEWARIS DAN PEMBAYARAN2 LAIN YG DIAKIBATKAN OLEH WAFATNYA SI PENINGGAL WARISAN
SISTEM KEWARISAN ISLAM ADALAH SISTEM INDIVIDUAL BILATERAL
HAL TERSEBUT DIKEMUKAKAN Hazairin ATAS DASAR AYAT2 KEWARISAN DLM ALQURAN DLM AYAT 7,8,11,12,33 DAN AYAT 176 SRT AN NISAA ( Q.S IV)
GOLONGAN AHLI WARIS DI DALAM ISLAM ADA 3 GOLONGAN YAITU :
a.    AHLI WARIS MENURUT ALQUR’AN ATAU YG SUDAH DITENTUKAN DI DLM ALQUR’AN DISEBUT DZUL FARAA’IDH.
b.    AHLI WARIS YG DITARIK DR GARIS AYAH, DISEBUT ASABAH.
c.     AHLI WARIS MRT GARIS IBU, DISEBUT DZUL ARHAAM




Tidak ada komentar:

Posting Komentar