Hukum
Internasional
Mengenai bagaimana
kedudukan Hukum Internasional Indonesia saya akan membahasnya disini , Apapun paham yang merepresentasikan wajah sistem
hukum Indonesia, sebenarnya para ahli Hukum Internasional ketika pada awalnya
meneliti hal ini tidak mempertimbangkan konteks hukum nasional negara per
negara dalam menentukan apakah Hukum Internasional dan hukum nasional itu
adalah satu sistem hukum atau dua. Mereka tidak mempertimbangkan apakah tiap
negara dengan kontekstualitas masing-masing itu menganut dualisme ataupun
monisme karena dalam pemikiran mereka hanya ada satu paham yang benar untuk
semua negara. Ini karena paham mengenai monisme dan dualisme adalah paham yang
filosofis dan tidak harus memiliki konsekuensi praksis karena toh tiap negara
berdaulat memegang kedaulatannya masing-masing dan Hukum Internasional itu
diakui dunia terlepas dari ada atau tidak adanya paham yang disebut sebagai
monisme dan dualisme.
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara
Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi
internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum
yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional
lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional
dilakukan berdasarkan undang-undang.Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian
internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan
bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan
suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat
berlaku dan menjadi hukum di Indonesia.
Sistem hukum di Indonesia sayangnya belum mengindikasikan apakah
menganut monisme, dualisme atau kombinasi keduanya. Akan tetapi menurut Prof.
Mochtar Kusumaatmadja secara jelas membacanya bahwa Indonesia mengarah pada
monisme primat hukum internasional
UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang
diharapkan serta dapat memberi pandangan tentang hukum internasional ini
ternyata tidak terlalu tegas menjawab pernyataan tentang status perjanjian
internasional dalam hukum nasional. Ketidaktegasan ini disebabkan oleh beberapa
factor yang mewarnai proses penyusunan UU, yaitu:
1. Perumus UU ini dipengaruhi oleh pemikiran yang
berkembang saat ini melalui pandangan Prof. Mochtar Kusumaatmajaya yang
mengindikasikan bahwa Indonesia menganut aliran monism primat hukum
internasional.
2. UU ini hanya merupakan kodifikasi dari praktik Negara RI
tentang pembuatan perjanjian Internasional yang sebelumnya dilandaskan pada
Surat Presiden RI No. 1826/HK/1960 kepada DPR tentang pembuatan perjanjian
dengan Negara lain.
3. Dunia akademis pada waktu itu tidak atau
belummenyediakan jawaban/doktrin tentang hubungan internasional maupun
nasional.
4. Juriprudensi Indonesia belum member kontribusi untuk
teridentifikasikan persoalan ini sehingga nyaris bukan merupakan persoalan
juridis yang perlu perhatian perumus UU ini.
Dalam praktik Indonesia, sekalipun suatu perjanjian
internasional telah diratifikasikan dengan UU, masih dibutuhkan adanya UU lain
untuk mengimplementasikan pada domain hukum nasional, misalnya UNCLOS 1982 yang
diratifikasikan oleh UU No.17/1985 tetap membutuhkan adanya UU No.6/1996
tentang perairan. Dalam hal ini sistem hukum Indonesia tidak terlalu
mengkonstruksikan secara tegas tentang perbedaan antara ratifikasi dalam dimensi
hukum internasional dengan ratifikasi dalam dimensi hukum nasional. Sedangakan dalam UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional awalnya disusun untuk mengatur secara terperinci soal posisi
perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia. Akan tetapi, lagi-lagi
politik hukum yang diambil juga belum jelas. Ada sisi monisme dan dualisme
dalam UU tersebut. Terkait soal pengesahan (ratifikasi) misalnya, Pasal 9
menyebutkan bahwa: “Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah RI
dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut (ayat
1); Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. (ayat 2).”
Dengan memperhatikan
hal diatas, saya kira pada kenyataannya negara-negara pasti menerima prinsip-prinsip fundamental Hukum
Internasional seperti kedaulatan
dan pacta sunt servanda karena ini adalah prasyarat agar mereka dapat diterima untuk bergaul di dunia internasional.
Namun, terhadap norma-norma Hukum Internasional yang baru dan
terhadap perjanjian internasional, terserah mereka untuk menerima atau
menolaknya.
Walaupun suatu negara
menganut monisme tetap saja ada filter transformasi hukum yang mereka berlakukan sehingga tidak dapat otomatis suatu aturan Hukum Internasionl dianggap berlaku
begitu saja. Alasannya paling
tidak ada dua, pertama karena tiap-tiap negara memiliki kedaulatan sehingga tiap-tiap norma baru dalam Hukum
Internasional dapat mereka tolak atau mereka terima melalui pengakuan
atasnya jadi untuk itu menurut pendapat saya bahwa Indonesia menganut
paham dualisme dalam perkembangannya cendrung menuju paham monisme dengan
primat hukum inetrnasional serat pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam
hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa
Indonesia memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem
hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar